55

Remember Me (Part.8)

Seo Joohyun/Cho Kyuhyun/Jung Yonghwa & The others cast. | Romance & Friendship | PG-15.

Original by AdillaSB:

WARNING: YANG BACA WAJIB KOMEN YA. SEBAGAI WUJUD APRESIASI TERHADAP FF INI.

Part. 8 : “Harus ada sesorang yang dikorbankan, dan itu sudah konsekuensi.” Baca lebih lanjut

80

Remember Me (Part.7)

Seo Joohyun/Cho Kyuhyun/Jung Yonghwa & The others cast. | Romance & Friendship | PG-15.

Original by AdillaSB:

WARNING: YANG BACA WAJIB KOMEN YA. SEBAGAI WUJUD APRESIASI TERHADAP FF INI.

Part. 7 : “Tidak mudah menentukan pilihan.”

Baca lebih lanjut

74

Remember Me (Part.5)

Seo Joohyun/Cho Kyuhyun/Jung Yonghwa & The others cast. | Romance & Friendship | PG-15.

Original by AdillaSB:

WARNING: YANG BACA WAJIB KOMEN YA. SEBAGAI WUJUD APRESIASI TERHADAP FF INI.

Part. 5 : “Menyesal tidak akan merubah apapun.”

“Seohyun mengapa kau sulit sekali dihubingi?” Tanpa basa-basi wanita diujung telefon menaikan nada suaranya, sehingga perasaan panik yang ia rasakan pun terdengar jelas.

“Mi-mian on—“ Seohyun terbata-bata. Seakan menyesal mengangkat telefon dari orang yang memang ia hindari itu. Dari awal memang Seohyun memilih unuk mengabaikan panggilan itu, namun wanita disebrang telepon itu tak menyerah untuk menghubunginya berulangkali sehingga ia rasa lebih baik mengangkat sebentar untuk sekedar say Hi.

“Bukan saatnya minta maaf, Kyuhyun kecelakan. Kau tahu?” Kata wanita itu memotong kalimat yang belum Seohyun selesaikan.

“Mwo?A-a-apa dia baik-baik saja?” Seohyun memang kaget mendengarnya, namun berusaha menjaga nada suaranya dan berkata sekedarnya saja. Walaupun sungguh ia menyesal melakukan ini namun tekatnya sudah bulat.

“Kau bisa secepatnya ke Rumah Sakit Q sekarang?dia akan mulai operasi, nanti kujelaskan kronologisnya saat kau tiba karena aku sangat repot sekali dan tidak ada banyak waktu untuk berlama-lama mengobrol disini.” Wanita diujung telefon terus mengoceh bercerita dengan semakin cemas. Ditambah dengan nafasnya yang terengah-engah.

“Onnie… Mianhae.” Kali ini Seohyun berkata dengan tegas, walau sebelumnya ia harus mengambil nafas berulang kali untuk menghilangkan gugupnya.

“Kenapa kau minta maaf terus, Seohyun? Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengar permintaan maafmu, banyak yang harus aku persiap—“

“Mian onnie, aku tidak bisa kesana!” Ia semakin yakin mengatakannya, membuat wanita tersebut menghentikan ocehannya.

“Wae?kau sibuk?”

“Jangan hubungi aku lagi onnie, terlebih untuk membicarakan Kyuhyun. Mian…”

“Ada apa denganmu, Seohyun?” Kini suaranya terdengar semakin merendah, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Aku ingin melupakannya—“

“Seohyun…” Panggil Yonghwa, melambaikan tangan kanannya didepan wajah Seohyun yang mematung.

“Melamun lagi? Apa kau sakit?” Dan Seohyun sadar dari lamunannya sesaat setelah Yonghwa meletakan punggung tangannya pada kening Seohyun. Merasakan Suhu tubuh yeojanya itu sekedar untuk memastikan keadaannya.

Akhir-akhir ini—setelah insiden ditangga itu—Seohyun memang terlihat berbeda. Ia lebih sering terlihat melamun tidak seperti biasanya. Kini banyak yang mengusik pikirannya; terutama mengenai kenangan-kenangan yang hampir ia lupakan itu.

Melihat wajah Yonghwa yang sepertinya cemas, Seohyun memilih untuk mengelak. “Aku baik-baik saja, oppa.” Katanya menyembunyikan perasaanya. “tadi sampai mana?” sambung Seohyun membalik lembar buku yang tergeletak dihadapan keduanya.

“Aku sudah selesai sejak setengah jam yang lalu…”

“Apa?” Seohyun kaget, ia merasa baru beberapa menit yang lalu ia membuka lembaran tugasnya itu.

“Aku tidak terlalu mahir membuat karangan manis seperti itu, silahkan baca kembali”

“Gomawo oppa, kau banyak membantuku hari ini. Maaf aku merepotkan.”

“Apa ada yang kau pikirkan, Seohyun? Aku merasa kau mulai aneh…”

“Aneh? Apa maksudmu oppa, aku tidak apa-apa. Kau terlalu mengkhawatirkanku, sudahlah jangan berlebihan.” tentu Seohyun mengucapkan kalimat itu dengan pelan, karena ia tidak ingin lebih lanjut menyakiti namjanya lagi. Saat ini sudah terlalu banyak kebohongan yang ia buat untuk menyembunyikan pikirannya yang mulai dipenuhi masa lalunya. Dan  setelah dipertimbangkan pun, memang tidak mungkin menceritakan hal ini pada Yonghwa. Tentu akan sangat mengganggunya.

“Kau yakin?”

“Ne, oppa. Tenanglah!” Seohyun tak bisa menatap Yonghwa dalam kondisi seperti ini, Berbohong bukan perkara yang mudah untuknya. “Oh ya, Selamat ya oppa. Aku sudah mendengar beritanya hari ini. CN-Blue, Kalian memang mengagumkan.” Seohyun berusaha mengalihkan topic pembicaraan.

“Terimakasih, Seohyun. Tapi kami belum menang.”

“Kau ini… Masuk Final juga merupakan suatu kebanggaan oppa, selangkah lebih mudah menuju kemenangan. Aku turut senang, dan aku sangat yakin kalian pasti bisa menang.” Seohyun tersenyum, untunglah suasana kali ini jauh lebih baik.

“Sekali lagi terimakasih, Seohyun.”  Yonghwa menyeruput Softdrink nya yang sudah tidak dingin lagi, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Jimatmu waktu itu berguna sekali, boleh aku memintanya lagi sebelum Final?” Yonghwa menyeringai menatap Seohyun yang terlihat kaget mendengarnya. Kini mata mereka saling beradu pandang, namun tetap tidak ada jawaban apapun dari Seohyun.

Seohyun terdiam, hanya dapat menunjukan pipinya yang mulai merona mengingat kejadian malam sebelum kompetisi itu. “Tidak usah seserius itu.” Yonghwa terkekeh.

“Ya! apa yang kau tertawakan, uh?” Bentak Seohyun jengkel melihat namja yang ternyata hanya menggodanya saja.

“Tapi kalau kau mengijinkan, aku mau memintanya lagi loh…”

“Oppa! Kau mau membuatku malu? Kenapa membicarakan ini terus?”

“Cepat cari cermin, lihat wajahmu memerah. Lucu sekali.”

“Kenapa melihatku seperti itu?” Tanya Seohyun melihat Yonghwa yang merubah mimic wajahnya menjadi serius setelah tawanya tadi, dengan senyum yang melengkung dibibirnya.

“Tidak, hanya… beginilah kau. Jika memang ada yang kau pikirkan, terlebih jika itu hal yang tidak perlu kuketahui sebaiknya sembunyikan itu dengan baik. Jangan buatku cemas.”

Mendengar itu Seohyun semakin menutup mulutnya, Aish memang sulit menyembunyikan sesuatu dari Yonghwa. Dia mengenal Seohyun jauh lebih baik dari Seohyun mengenal dirinya sendiri. Seohyun mengangguk, tidak dapat merangkai kebohongan lagi. Percuma saja…

“Ding dong… jam 10 Seohyun, apa kau mau tetap disini?” Pertanyaan itu menghentikan keheningan yang terjadi diantara mereka. Yonghwa memperlihatkan jam pada pergelangan tangannya pada Seohyun.

“Ah mian oppa! Saatnya kau latihan ya? Baiklah, aku tinggal ya. Jaga dirimu”

“Ne…”

Seohyun segera membereskan barang-barangnya yang berantakan diatas meja, dan ia pun meninggalkan Basecamp—tempat mereka latihan—itu setelah melambaikan tangan pada namjanya. Tempat yang ia tuju sekarang adalah Perpustakan, satu-satunya tempat terbaik untuk menenangkan pikirannya yang mulai agak kacau belakangan ini.

*

Seohyun melangkahkan kakinya menelusuri lorong, matanya terus menatap lantai tempat kakinya berpinjak. Dia tidak bisa menghindari perasaan cemas yang juga melandanya. Tanpa ia sadari kecemasan itu memang timbul karena ia takut; takut jatuh cinta lagi pada orang yang memang ingin ia lupakan. Walau Seohyun berusaha keras mengelaknya namun ia tidaklah pandai dalam membaca perasaannya sendiri sehingga sampai kini pun ia masih bimbang dengan apa yang ia rasakan.

Walau alam sadarnya saat ini dipenuhi pertanyaan-pertangaan yang mengantung—belum menemukan jawaban— namun kakinya seakan hafal langkah mana yang harus ia tuju, dan membawa dirinya dengan benar menuju perpustakaan.

Setibanya di perpustakaan. Seohyun berjalan menuju mejanya yang terletak disudut ruang baca. Tempat itu merupakan pojok favoritnya ketika harus menghabiskan waktu dengan buku-buku kesayangannya. Dan karena tempat itu teletak paling ujung, tidak banyak orang yang menempatinya sehingga suasananya cukup tenang juga sangat nyaman baginya.

“Seohyun…” Sapa seseorang dari kejauhan menghentikan langkah Seohyun. Si pemilik suara kini mempercepat langkahnya menghampiri Seohyun yang tengah memandangnya heran.

“Oh kau, Sungmin-ssi. Ada apa?”

“Aku hanya ingin memberikan ini…” Sungmin menjulurkan sebuah benda dengan strap bergambar Kodok hijau dari dalam tasnya.

“Dompetku?” Seohyun memperhatikan benda itu, memastikan benda itu adalah benar dompet yang lama ia cari. “ tapi benda ini sudah hilang seminggu yang lalu, kenapa kau bisa menemukannya Sungmin-ssi?”

“Memang… Saat itu kami menemukannya di Perpustakan—“

“Kami?”

“Aku dan Kyuhyun. Padahal bocah itu bilang mau mengembalikannya padamu, tapi beberapa hari yang lalu ia kembali mengantarkannya padaku. Ia menyuruhku mengembalikannya padamu.Maaf sedikit telat mengembalikannya, akhir-akhir ini mencarimu memang sulit sekali”

“Lalu… temanmu itu dimana?” tanya Seohyun ragu. Jujur, ia benar-benar ingin sekali melihat Kyuhyun lagi. Setelah berpelukan malam itu, tidak banyak yang terjadi diantara mereka. Seohyun memilih untuk tetap menyembunyikan masa lalunya, karena Kyuhyun terus menyerbunya dengan banyak pertanyaan. Ia tidak mungkin menjawab hal memalukan itu, ia takut kebencian Kyuhyun padanya saat itu kembali lagi dan ia pun takut hal itu membuat kebenciannya terhadap Kyuhyun bertambah lagi.

“Kyuhyun maksudmu? Dia tidak masuk hari ini, sakit.”

“Mwo? Sakit apa?”

“Entahlah, sepertinya demam. Hari ini aku akan menjenguknya, apa kau mau ikut serta?” Kata Sungmin hati-hati, mengingat bagaimana hubungan yang terjadi diantara mereka memang tidak harmonis.

“Tidak usah terlalu dipirkan, aku tidak memaksamu.” Sambungnya, melihat tidak ada jawaban dari Seohyun. “Aku pergi dulu, maaf untuk dompetmu karena mengembalikannya telat sekali” Sungmin membungkuk, kemudian beranjak dari hadapan Seohyun yang masih memikirkan penawaran Sungmin tadi.

Jantungnya yang beradu cepat menandakan kekhawatirannya pada Kyuhyun dan tentu hatinya pun tidak bisa menolak tawaran Sungmin.Namun tubuhnya membatu seakan menolak permintaan itu. Memang banyak yang harus dipertimbangkan untuk sekedar menjenguk Kyuhyun, terlebih jika Yonghwa mengetahui hal ini.

“Oppa-ah~!”

Suara itu membuat Sungmin berhenti dan menoleh,“Ne?” tanya nya heran, dan sedikit berteriak karena posisinya yang agak jauh. Untungnya tidak banyak orang ditempat itu sehingga teriakan itu tidak terlalu menggangu. Sungmin berbalik arah, kembali menghampiri Seohyun agar mereka tidak perlu berbicara dengan berteriak lagi.

“Aku ikut.”

*

Mendengar suara bell rumahnya dibunyikan beberapa kali, Kyuhyun yang saat itu sedang asyik dengan Starcraft-nya beranjak menuju sumber suara. Rambutnya yang berantakan mencerminkan dengan jelas kegiatan yang ia lakukan beberapa jam terakhir. Karena memang ia hanya berguling-guling dikasurnya dan tidak banyak melakukan kegiatan—selain bermain dengan gamenya—.

“Sungmin-ah… sudah kuduga kau pasti mengkhawatirkanku~” sambut Kyuhyun setelah membuka pintunya.

“Kenapa kau gembira sekali? Tidak seperti orang sakit.” Sungmin memandang Kyuhyun dengan penuh rasa curiga. Bisa-bisanya orang yang sedang sakit dan harusnya menghabiskan waktu dengan berbaring seharian, meloncat kegirangan dengan lincah seperti ini.

“Hey, aku senang kau kemari… Apa kau tidak merindukanku?” Kyuhyun memeluk sahabatnya dengan antusias, seolah memang mereka tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama. “Pasti sangat membosankan ya menjalani hari tanpaku disisimu…”

“Aish lepaskan aku, memalukan!” Sungmin melepas pelukan Kyuhyun kasar, menepuk-nepuk kemejanya kemudian mengarahkan pandangannya pada Seohyun yang berdiri dibelakangnya.

“Mwo? Seohyun?”

“An-anneyong.” sapa Seohyun, dengan tatapan yang canggung.

“Si-si-silahkan masuk,” ajak Kyuhyun tak kalah canggung. Bagaimanapun kejadian tadi cukup memalukan, bahkan  wajah Seohyun tadi seperti menahan tawanya yang seakan bersiap meledak-ledak. Merekapun masuk dengan didahului Kyuhyun.

“Duh, badanku lemas sekali…” Kyuhyun bergumam, merentangkan kedua tangannya keatas; memberi kesan bahwa ia benar-benar terlihat sakit.

“Paboya~ kenapa Sungmin tidak memberitahuku kalau ia mengajak Seohyun. Apa yang ku lakukan tadi? memalukan sekali. Harusnya aku bisa terlihat lebih manis ketika dia disini. Dasar Sungmin bodoh!” Kutuk Kyuhyun dalam hati.

Kyuhyun menuntun tamunya menuju sofa yang terletak diruang tengah.

“Kau sendrian? Mana Victoria-noona?” tanya Sungmin meletakan buah yang memang sudah ia persiapkan diatas meja dapur. Rumah Kyuhyun tidak terlalu besar, namun lebih dari cukup karena memang ia hanya tinggal berdua dengan Victoria. Perabot dalam rumahnya pun masih sangat sedikit, berhubung memang mereka belum lama tinggal dirumah itu.

Victoria yang kini telah bekerja sebagai jurnalistik disebuah Majalah Fashion yang cukup terkenal di Seoul tentu tidak punya banyak waktu untuk merapihkan rumah baru mereka. Sementara Kyuhyun… Sudah pasti tidak akan bersedia menata perobotan seperti itu.Itu merupakan pekerjaan wanita, pria mana bisa melakukannya dengan baik.

“Akhir-akhir ini dia sibuk.” jawab Kyuhyun dari balik kamarnya yang terletak tidak jauh dari dapur. Kyuhyun memilih untuk kembali keranjangnya. Walaupun memang ia benar-benar sakit, namun ia bukan tipe pria yang bisa melewati hari dengan diam seharian dirumah. Ia memilih untuk bersikap manis, tentu karena ada Seohyun dalam rumahnya.

Tunggu… Seohyun dalam rumahnya??? Kyuhyun memutar otaknya mencari jawaban. ‘Untuk apa Seohyun kerumahnya? Apa karena mencemaskan dirinya?’ pertanyaan yang tidak akan terjawab jika tidak menanyakan langsung pada orangnya.

“Boleh kami masuk?” tanya Sungmin yang kini sudah berdiri diujung pintu kamar Kyuhun.

“Tentu.” Sungmin melangkah masuk diikuti Seohyun dibelakangnya dengan tangan sudah dipenuhi nampan berisi potongan buah yang mereka bawakan tadi.

“Bagaimana keadaanmu, Kyuhyun-ssi?”

“Aku baik-baik saja, hanya demam.”

“Hey kenapa benda ini menyala?” Tanya Sungmin melihat layar televisi yang menyala dan masih terhubung dengan Playstasion. “Bahkan dalam keadaan sakitpun kau masih memainkannya?” Sungmin menggelengkan kepalanya,heran.

“Salah satu penyakitku, aku tidak bisa menghentikan itu.”

“Sama sekali tidak berubah…” gumam Seohyun tiba-tiba. Namun seketika ia menyadari ucapannya barusan, sukses membuat kedua pria yang sedang bercakap tadi menghentikan pembicarannya dan beralih menatap Seohyun dengan penuh tanda tanya. Refleks Seohyun menutup mulut dengan telapak tangannya, batinnya mengutuk kebodohan yang baru ia lakukan. Bisa-bisanya berkata seperti itu dengan suara lantang. Bodohnya…

“Sama sekali tidak berubah?” Sungmin mengulang kalimat yang diucapkan Seohyun dengan nada curiga, tentu ia mendengar dengan jelas bagaimana Seohyun berucap tadi. Seolah memang ia mengetahui kebiasaan Kyuhyun dengan baik, sementara Kyuhyun masih mematung tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Bagaimana… Mengapa… Apa… Hm maksudku, apa yang kau maksud tadi Seohyun? Bagaimana bisa kau—“

“Sama sekali tidak berubah maksudku… uhm…” Seohyun bekerja keras memikirkan alasan yang tepat, keringat yang menetes dipelipisnya membuat ia tak bisa berkonsentasi. “Kyuhyun-ssi selalu membawa PSP-nya ke kampus, dan sepertinya game… maksudku bermain game seperti itu adalah kebiasaanmu. Ja-jadi memang tidak ada yang berubah.” sayangnya penjelasan Seohyun seperti menggantung, dan tidak berhasil membuat kedua pria itu membuang tatapan mereka dari wajah gugup Seohyun.

“Benar kan yang kukatakan, Kyuhyun-ssi?” Seohyun tambah meyakinkan, walau tetap dengan tatapan gugupnya. Kyuhyun dan Sungmin beradu pandang masih dipenuhi rasa curiga, dan melihatnya membuat Seohyun menunduk cemas akan nasibnya kedepan. Ia sedikit menyesali kedatangannya ke tempat itu.

“Ne… tidak kusangka kau memperhatikanku.” Kyuhyun menarik sudut bibirnya ragu, melihat tatapan Seohyun yang aneh membuatnya semakin penasaran.

“Waw! Ternyata diam-diam kau memperhatikannya.” Sungmin berkata riang, membuat Seohyun sedikit bisa bernafas laga karena terlihat mereka yang sepertinya tidak lagi menyinggung masalah tersebut.

Kyuhyun beralih menuju layar ponsel yang sempat ia abaikan hari ini, sementara Seohyun hanya dapat menunduk memikirkan kemungkinan yang akan terjadi setelah kejadian tadi dan kini Sungmin asyik memperhatikan barang-barang dalam kamar Kyuhyun. Semenjak kepindahan Kyuhyun kesini, ini bukan kali pertama Sungmin berkunjung kerumahnya. Namun, inilah pertama kalinya ia memasuki kamar Kyuhyun yang sudah hampir rapih, karena sebelumnya ruangan itu hanya penuh dengan kardus-kardus yang masih berantakan.

“Hey kenapa banyak Cokelat dalam kardus ini?” Sungmin memperhatikan beberapa kardus yang masih tergeletak disudut kamar Kyuhyun dan mengambil salah satu diantara kotak-kotak dalam kardus itu.

“Ternyata ini kosong,hanya kotaknya…”

“Sungmin-ah, letakan kembali. Itu koleksi berhargaku.”

Mendengar sesuatu yang janggal, Seohyun mengangkat wajahnya—penasaran dengan apa yang mereka perbincangkan sekarang— . Takut-takut itu dapat membuat mereka menyinggung hal tadi lagi.

“Mwo? Kotak cokelat ini?” Sungmin mengeluarkan beberapa dari kotak itu, kemudian memperhatikannya dengan seksama. Tidak ada yang berbeda dalam kumpulan kotak itu. “Apa yang istimewa?” tanya Sungmin bingung. Jumlah kotak cokelat itu lumayan banyak, menigisi sekitar lima kardus berukuran sedang.

“Entahlah, Victoria noona bilang itu memang barang berhargaku dulu. Karena ia bilang aku memakan cokelat itu hampir setiap hari.”

“Jinjjayo?”

“Aku juga tidak yakin.”

“Tidakkah benda ini membuat kamarmu terasa lebih sempit? Jika begitu, lebih baik kau buang saja Kyuhyun-ah. Benda ini sama sekali tidak menarik.”

“Aku tidak pernah tega membuangnya. Sepertinya memang itu barang koleksiku yang berharga.”

Seohyun menyaksikan percakapan mereka. Melihat kotak itu membawa pikirannya melayang menuju masa lalunya. Cokelat yang sama yang ia simpan diloker seorang bocah setiap paginya. Dan ketika  jam digital menunjuk pukul 9:25 bocah itu akan berteriak dengan senyumnya “Lihatlah aku dapat cokelat lagi!”. Semua memori itu mengisi pikirannya sekarang,betapa senang perasaannya saat mengabadikan hal itu dan melihat fotonya kembali dikamarnya. Perasaan itu, dulu kuat bahkan sangat kuat…

Seohyun mengepalkan kedua tangannya, berharap air matanya tidak tumpahs dalam situasi seperti ini. Menyesalkan hari ini yang sungguh membuat mood-nya berubah rubah, “Kyuhyun-ssi, Sungmin-ssi apa kalian haus? Aku siapkan minuman untuk kalian.” Seohyun bangkit dari duduknya. Sejujurnya ia tidak dapat menahan perasaannya lagi.

“Aish bodohnya aku, padahal kalian tamu tapi aku lupa menjamu kalian. Mianhae.”

“Tidak apa Kyuhyun-ssi, kau sendiri kan sedang sakit jadi aku tidak keberatan.”

“Maaf merepotkanmu Seohyun.”

Seohyun hanya tersenyum, kemudian melangkah keluar kamar Kyuhyun. Ia terpaku pada sudut dapur yang memang sedikit gelap dan hanya diterangi sinar matahari yang masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ia terduduk disana, menumpahkan air mata yang sudah menumpuk dipelupuknya.

“Barang berharga?” Seohyun terisak ketika mengingat percakapan tadi. “Kau selalu berlagak seolah barang itu tidak penting bagimu, mengapa sekarang enteng sekali kau mengatakan itu barang berhargamu? bodoh! Apa kau tidak memikirkan perasaanku?” Seohyun tak bisa menghentikan tangisnya walaupun dengan volume yang rendah, karena ia pun sadar posisinya sekarang.

Tidak dapat berlarut dalam kegalauannya. Seohyun mulai menghapus air matanya, berharap dengan itu wajahnya terlihat lebih baik sekarang. Dan berdoa agar mereka tidak menyadari apa yang menimpanya karena memang Seohyun menghabisakan waktu yang cukup lama disana. Kalaupun jam diruangan itu tidak berdenting setiap 15 menit sekali, mungkin Seohyun aku meneruskan tangisannya bahkan semakin larut dalam isakannya.

Setelah menuangkan dua gelas Orange Juice dan Segelas Teh hangat ia pun kembali kekamar Kyuhyun dengan nampan dipenuhi minuman tersebut. Sebelumnya ia sempat mencubit-cubit kedua pipinya, sekedar latihan agar senyumnya tidak akan kaku ketika didalam.

“Kenapa lama sekali?” Sambut Kyuhyun ketika Seohyun mulai menampakan dirinya dalam ruangan itu.

“Mian,” Seohyun menarik sudut bibirnya. “Sungmin-ssi kemana?”

“Tadi ia permisi karena menerima telefon masuk.”

Seohyun tak mengubris, hanya membentuk lingkaran pada bibirnya seolah berkata ‘Oh’.

“Ini untukmu, semoga—“

“Seohyun, kau…” Kyuhyun menggantung kalimatnya, jemarinya melayang menuju wajah Seohyun yang berada didekatnya. Ia mengusap lembut pipi Seohyun dengan permukaan ibu jarinya yang datar. “Kau menangis?” tanyanya.

“Apa… apa maksudmu?” tepis Seohyun, berusaha memalingkan wajahnya. Ia memang tidak pandai dalam berbohong, terlebih ketika harus menatap lawan bicaranya.

“Apa karena masalah tadi?”

“Aniyo.” Sergah Seohyun berharap tidak ada lagi yang membahasnya.

“Kalau begitu, kenapa? Apa karenaku?”

“Kyuhyun-ssi, aku memang datang kesini untuk menjengukmu tapi bukan berarti aku mengkhawatirkanmu sampai menangis seperti itu.” Seohyun meletakan minuman itu dimeja yang terletak disamping ranjang Kyuhyun, tanpa berpaling melihat Kyuhyun yang tengah memandanginya.

Walau bagaimanapun, jalur bekas air mata itu terlihat jelas. Warna kulitnya yang cerah terlihat sedikit lembab. Karena itu Kyuhyun sangat yakin sengan apa yang dilihatnya, “Bukan itu maksudku, Seohyun. Tapi apakah ada sesuatu yang kau ingat? Tentang…” Kyuhyun menghela nafas panjang sebelum meneruskan kalimatnya, “ kau tahu apa yang ku maksud.”

“Sudahku bilang, perkataanku malam itu bukan suatu hal yang serius. Aku hanya bergumam, pikiranku kacau saat itu. Lupakanlah.”

“Kau yakin hanya—“

“Aku datang kesini untuk menjengukmu, tolong jangan membuatku menyesal datang kesini.” Seohyun hampir beranjak sebelum tangan Kyuhyun meraih pergelangan tangannya dan menahannya pergi.

“Maaf membuatmu marah, aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja kau sering menangis dihadapanku, itu sungguh membuatku khawatir Seohyun.”

“Maaf aku datang pada saat yang tidak tepat,” seketika Sungmin sudah berdiri diantara mereka. “aku hanya mau pamit, sepertinya memang waktunya aku pulang karena ada urusan yang sangat mendesak. Apa kau juga mau pulang saat ini, Seohyun-ssi?”

Melihat Sungmin, Seohyun melepas tangan yang melingkari pergelangan tangannya dengan kasar. “Tentu. Tanpa kau aku tidak punya alasan untuk tetap disini.” Seohyun mengambil tas jinjingnya dari atas Sofa, kemudian membungkuk untuk sekedar memberi salam perpisahan. Terlalu formal memang tapi bagaimanapun situasi tadi tidak terlalu baik untuk sebuah akhir.

“Kyuhyun-ah semoga lekas sembuh ya, aku akan mentraktirmu makan ketika aku sembuh nanti.”

“Aku pegang janjimu Sungmin-ah. Gumawo, karena kalian telah menyempatkan waktu untuk datang kemari.”

“Kami pulang dulu ya, Selamat tinggal…”

“Hati-hati.” Kyuhyun melambai, mengantar kepergian kedua orang tamunya tadi.

*

Dan setelah itu, tinggalah Kyuhyun sendiri lagi dalam kamarnya. Kini perasaan aneh yang sempat ia rasakan terulang lagi. Hal tadi berhasil membuat dirinya berfikir tentang Seohyun dan apapun yang terjadi pada Seohyun yang juga menyangkut dirinya. Seohyun memang menyembunyikan hal itu dengan baik, walaupun pada akhirnya terasa janggal sekarang. Ditambah pada kejadian malam itu, “Aku membencimu, jangan datang lagi dalam hidupku oppa. Aku mohon.” Kata-kata itu diselimuti banyak misteri yang membuat Kyuhyun memang harus memutar otaknya lebih keras lagi. Bagaimanapun tidak mungkin jika Seohyun hanya bergumam—karena pikiran kacaunya— ia bisa mengatakan hal itu dengan penuh perasaan, seolah memang terjadi sesuatu diantara mereka.

“Aku pulang…” Saut seseorang, setelah terdengar suara kenop pintu yang dibuka.

“Kau masih sakit, Kyuhyun?” tanya Victoria yang ternyata baru pulang dari pekerjaannya. Victoria menaruh permukaan tangannya pada pipi Kyuhyun, memastikan keadan adiknya.

“Tidak, aku sudah lebih baik.”

“Mwo? Apa ada yang menjengukmu, Kyuhyun?” tanya Victoria ketika mendapati beberapa gelas—yang masih terisi penuh— tergeletak didalam kamar Kyuhyun.

“Ne, Pinky Boy dan Seohyun. Tadi mereka kesini.”

“Seohyun?” Victoria mengulang nama itu, seakan terasa ganjil. “Dia menjengukmu?” tanya Victoria heran.

Kyuhyun mengangguk, kemudian bangkit dari tidurnya menuju layar Televisinya yang masih menyala kemudian mengambil Stick Playstation yang tadi ia biarkan tergeletak begitu saja. Sementara Victoria merapihkan bawaannya, dan mengganti pakaiannya.

“Noona,” Panggil Kyuhyun ditengah permainannya.

“Ada apa?”

“Minggu lalu ketika kau datang ke Perpustakaan. Kau bilang kau mengenal Seohyun saat SMP dulu, ya kan?” Tanya Kyuhyun yang dari awal tak terkonsentrasi dengan permainan dalam hadapannya. Wajah Seohyun tadi begitu mengusiknya, entah kenapa terasa sangat menyakitkan ketika menyaksikan air mata yang jatuh dari mata Seohyun itu.

“Ya, lalu mengapa kau menanyakannya?”

“Tidak hanya saja, kau dan aku kan satu sekolah saat itu. Apa aku juga mengenal Seohyun dengan baik seperti kau mengenalnya?Mengapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?”

Pertanyaan itu sontan membuat Victoria terdiam sejenak. Mematung. Victoria memang mengetahui hubungan mereka, dan bisa dibilang saksi kunci dari perjalanan cinta mereka yang berakhir tragis. Tapi untuk menceritakannya kembali pada Kyuhyun?Sulit. Bahkan itu tidaklah mungkin.

“Noona?” Kini Kyuhyun meninggalkan permainannya, memilih untuk melihat Victoria yang tak mengubris pertanyaannya. Sedang Victoria masih bergulat dengan pikirannya, keputusan Seohyun untuk melupakan Kyuhyun terlihat seperti tekat yang bulat. Dan ia pun tidak bisa dengan mudah menceritakan pada Kyuhyun yang artinya membuat usaha Seohyun untuk melupakan adiknya sia-sia. Bagaimanapun Victoria adalah wanita, tentu ia mengerti perasaan Seohyun.

Victoria memilih untuk menjawab, “Tidak Kyuhyun-ah, kau tidak mengenalnya.”

“Kau yakin, tidak membohongiku?” Tanya Kyuhyun curiga.

“Ya! apa maksudmu? Sejak kapan aku pernah membohongimu?” Victoria berpura-pura marah dengan wajah serius. Hanya bermaksud membuat Kyuhyun percaya pada cerita karangannya.

“Mengapa kau berlagak suci noona? Kau lupa pernah membohongiku saat itu…”

“Saat itu? Kapan?” Victoria memainkan kesepuluh jarinya, ketika Kyuhyun terus menatapnya dengan tatapan seakan ia adalah seorang tertuduh.

“Ketika kau mengatakan bahwa kita benar-benar saudara kandung? Dan ketika itu kau terlihat manis dengan kebohonganmu.” Victoria terbelalak kaget. Setelah kecelakaan yang menimpa Kyuhyun, banyak rahasia yang terungkap ketika masa pengembalian ingatannya. Saat diperlihatkan foto-foto masa kecilnya, memang tidak terlihat Victoria, Appa dan Umma—yang ia kenal kini—ikut serta dalam kehidupan masa kecilnya. Untunglah situasi itu tak mebuat Kyuhyun Shock mendengarnya, terutama karena memang ia kehilangan ingatan sehingga apapun yang terjadi padanya dan keluarganya —bahkan kenangan buruk yang sempat membuatnya trauma—dulu tidak lagi menghantuinya. Kyuhyun lebih mudah menerima apa yang diceritakan Victoria dengan lapang dada, walau kenyataanya memang ia sedikit kecewa.

“A-aku hanya berusaha untuk menghiburmu, apa kau lupa pada janjimu untuk tidak membahas hal itu lagi dihadapanku?”

“Mian, noona. Aku hanya ingin tahu apa benar Seohyun tidak mengenalku ke—“

“Sudahku bilang Kyuhyun-ah, kalian sama sekali tidak mengenal. Seohyun hanya sebentar sekolah disana karena pekerjaan Appanya yang menuntutnya untuk berpindah kota tiap beberapa tahun sekali. Dan kau… Kau tahu sendiri saat itu kau adalah pria aneh yang membenci wanita. Kalian tidak mungkin saling mengenal, percayalah.”

“Begitukah?”

“Memang ada apa kau menanyakan hal ini padaku?”

“Tidak noona, hanya saja aku menyesalinya. Seandainya kami saling mengenal dan aku merasakan perasaan—jatuh cinta—seperti yang aku rasakan sekarang. Mungkin aku bisa lebih mudah mendapatkannya.”

“Mengapa kau harus menyesal Kyuhyun-ah? Sekalipun kau menyesal apa dapat merubah situasinya sekarang?”

“Hm.. ya kau benar noona.”

 

**Flash Back**

(Seohyun POV)

 

Setelah hari itu terjadi, hubunganku dengan Kyuhyun semakin memburuk.Kami tidak pernah lagi bicara, bahkan sepertinya kami sama-sama berfikir untuk saling menghindar. Yap, sama seperti pilihan lain yang selalu kupilih, pilihanku untuk menghindar kali ini memang seperti seorang pengecut. Namun bagaimanapun aku tidak bisa melihatnya menatapku tajam seperti itu lagi. Aku takut, bahkan sangat takut. Aku merasa benar-benar menyakitinya, walaupun memang akupun tak mengerti apa yang aku lakukan sehingga ia sebegetu marahnya padaku.

“Seohyun, ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau sering sekali terlambat bahkan tidak mengerjakan tugas-tugasmu. Sepertinya kau tak konsentrasi hari ini, Kalau terus begini bagaimana bisa aku mengajarimu?” Omel Taeyon memperhatikan surat panggilan pertama yang kudapatkan dari sekolah. Aku tidak ingin melihatnya karena membuatku merasa bodoh karena mendapat teguran seperti itu.

“Mian onnie, beberapa hal menggangu pikirnanku saat ini.”

“Tentang Bocah cokelatmu itu lagi?”

“Ya, siapa lagi.”

“Seohyun, rubahlah kebiasaanmu itu. Setiap kau memikirkan sesuatu dengan keras, bahkan dirimu sendiri sering kali terbengkalai seperti ini. Tidakkah kau merasa kau dirugikan karena hal ini?” kata Taeyon onnie memberiku nasihat. Aku memang sering sekali terlambat belakangan ini, bukan hanya karena jam bangunku yang telat namun menghindari Kyuhyun adalah factor utama. Karena arah rumah kami yang sama, aku harus mengambil jalur yang lebih jauh untuk menuju Sekolahku. Karena belakangan ini aku sering terlambat sehingga membuat kami sering sekali berpapasan dijalan menuju sekolah, Kyuhyun memang bukan anak yang rajin, dan dia selalu berangkat siang sehingga tidak heran kalau kami bertemu disaat aku terlambat seperti itu. Namun untuk bangun lebih awal memang sulit, ditambah karena pikiranku yang dipenuhi dengan masalah yang belum ku temui jawabannya. Kau tahu itu sangat menyiksa.

“Aku mengerti onnie,aku akan berusaha lebih baik lagi.”

“Ya sudahlah lupakan sejenak masalahmu itu hyunnie, bisa kita belajar sekarang?”

“Setelah tugas ku ini selesai onnie, sebentar lagi.”

“Aku mau melihat hasil tugasmu kemarin saja kalau begitu, Dimana kau meletakannya?” tanya Taeyon onnie, meyapu seluruh ruangan kamarku dengan tatapannya mencari lembar yang ia maksud.

“Ambil saja ditasku onnie!” jawabku, aku memang sedang berkonsentarsi mengerjakan soal Matematika yang merupakan salah satu rangkaian dari hukumanku karena selama seminggu ini telat berturut-turut.

“Mwo?Kotak cokelat apa ini?” Taeyon mengocok kotak itu pelan seolah ingin mengetahui benda didalamnya. “Sepertinya sudah meleleh hyunnie.”

“Kotak cokelat?” mendengarnya membuatku sadar, hari ini memang aku belum menyerahkan kotak itu padanya. Oh ya, perlu kalian ketahui walau aku menghindarinya bukan berarti aku menghentikan aktifitasku ini. Karena inilah satu-satunya hal yang membuatku bisa melihat tawanya kembali. Dan sekarang aku benar-benar lupa, karena istirahat tadi aku terlalu disibukan dengan hukumanku menuliskan penyesalan karena datang terlambat sebanyak 100 kalimat dan itu cukup menguras tenagaku bahkan hingga usai sekolah aku masih menyelesaikannya.

“Aku pergi sebentar ya onnie, hanya sebentar nanti aku kembali.” aku mengambil kotak dalam genggaman Taeyon onnie, kemudian mengambil kamera yang terletak didalam tasku dan bergegas menuju sekolah. Hari itu memang sudah sore, namun tidak membuatku mengurungkan niatku. Bagaimanapun kakiku tidak dapat berhenti berlari, aku memang pernah beberapa kali untuk menghentikan hal ini karena aku sempat jenuh melakukannya, kalian tahu aku manusia biasa dan bagaimana bisa hanya melakukan ini terus tanpa mendapat imbalan yang setimpal. Tapi tidak melakukannya membuatku sangat menyesal, sehingga aku berusaha menghilangkan perasaan jenuhku dan berusaha untuk melakukannya terus dengan sungguh-sungguh. Bodoh, aku terlalu banyak menyimpan harapan padanya…

*

Setibanya disekolah, aku sempat melihat kelapangan yang terletak dibelakang sekolahku. Karena ini hari Rabu kemungkinan besar Kyuhyun masih berlatih, sehingga bisa dipastikan cokelatku dapat diterimanya hari ini. “Syukurlah belum terlambat” kataku puas.

Setelah melihatnya memang sedang berlarian dilapangan itu, aku mempercepat langkahku menuju koridor tempat kumpulan loker para siswa berada. Karena loker siswa dan siswi memang tidak terpisah koridor mempermudahkan aksiku sehingga orang lain pun tak mencurigai ketika aku membuka loker yang bukan miliku.

“2412xx“

Tentu kalian bingung mengapa aku mengetahui kode loker Kyuhyun seperti ini. Tapi kalian pasti dapat menebak siapa yang memberitahunya. Ya, dia adalah Victotria onnie. Entah kenapa Victoria onnie memang antusias sekali untuk membantuku, karena menurutnya kebencian Kyuhyun pada wanita memang sudah diluar kehidupan normal seorang bocah laki-laki. Aku sendiri tidak mengetahui alasan mengapa Kyuhyun bertingkah aneh seperti itu, bahkan untuk soal itu Victoria onnie juga menutup mulutnya. Ia hanya bilang, ‘Kyuhyun tidak salah, karena kehidupannya memang menyedihkan’ dan ucapan itu tidak menjawab satupun pertanyaanku.

“Ya! Penyusup rupanya…”

Suara itu berhasil membuatku menghentikan aksiku,“Kyuhyun-ssi?” kataku kaget, ketika melihat sesorang yang kukenal diujung koridor tengah memperhatikanku.

“Kau tahu ada larangan untuk tidak membuka loker orang lain yang bukan milikmu disekolah ini?”

Aku mengangguk membenarkan, Ottokhae? Dia melihatku? Keringat kini mengucur menuruni pelipisku. Dan entah aku tidak mengerti harus berbuat apa sekarang. Karena sekarang posisiku sudah terpojokan.

“Mian.” Aku hanya dapat menunduk malu ketika mendengar langkahnya yang semakin dekat menghampiriku. Ingin sekali aku melarikan diri dari situasi ini tapi langkahku seakan berpihak padanya.

“Gumawo…” Kyuhyun membungkuk ketika ia tepat berhadapan denganku. Kemudian aku mengangkat wajahku memastikan apa yang terjadi, mengapa dia…

“Mwo?Kenapa kau berterimakasih?”

“Apa salahnya?”

“Kau tidak—“

“Marah?” Potongnya. “Ya aku sedikit kecewa karena cokelat ini terlalu kecil, tapi sepertinya kau niat sekali memberikanku benda ini.”

“Jangan-jangan kau sudah mengetahui sebelumnya?”

“Aku tidak sebodohmu. Bukan kali ini saja aku memergokimu seperti ini, Pabo!”

“Haish, aku bodoh sekali…” Gumamku, aku sudah bisa merasakan pipiku yang mulai memanas, bisa-bisanya aku bertingkah seolah pengagum rahasia padahal ia sendiri mengetahuinya. Aku memejamkan mata tidak berani melihat reaksinya selanjutnya.

“Oh ternyata hari ini kau telat mengantarnya, aku pikir kau sudah menyerah lagi ternyata memang tidak.”

“Mwo?”
“Kenapa kau selalu memasang tampang polos seperti itu? Seolah kau tidak melakukan sesuatu, hey penyusup?”

“Mianhae Kyuhyun-ssi, sebaiknya aku pulang sa—“

“Cepat simpan dilokerku!” Bentaknya. “cokelat itu pasti sudah mencair. Aku akan tutup mataku, berpura-puralah aku tidak memergokimu seperti ini.” Aku sempat mematung mendengarnya, namun berusaha kembali pada kenyataan bahwa benar tepat dihadapanku, aku berhadapan dengan Kyuhyun.Ia mulai menutup mata dengan kedua telapak tangannya.

“Sudah?” tanya Kyuhyun beberapa saat kemudian.

“Ne, kau bisa buka matamu.”

“Oke aku akan kembali ke lapangan, dan menganggap aku tidak kemari sebelumnya,” Kyuhyun membalikan tubuhnya, dan berjalan meninggalkanku.“Apa yang aku lakukan tadi? Konyol sekali, bodoh mu menular nih…” Sautnya pelan, seperti bergumam tapi tetap aku mendengarnya karena jarak kami yang belum terlalu jauh. Perlahan dia menjauh meninggalkanku yang masih pada posisiku, lagi-lagi tubuhku mematung dan hanya bisa memperhatikan punggungnya yang basah dengan keringat semakin jauh.

*

“Syukurlah aku tidak terlambat…” Kataku, ketika melihat jarum jam yang belum tiba pada angka tujuh. Aku menyapu dua lembar roti dan segelas susu yang berada dimeja makan, kemudian menenggak habis dengan sekaligus sementara roti tetap aku pegang untuk ku makan dijalan.

“Appa, aku berangkat?” Sautku, suaraku bergema diruangan itu. Rmahku memang cukup besar dan aku hanya tinggal bersama Appa, jelas rumah yang sepi itu membuat suraku terdengar lebih nyaring.

Tidak ada jawaban yang terdengar dari kamar Appa, mungkin memang ia sudah berangkat kekantor. Akhir-akhir ini Appa sangat sibuk—walau setiap haripun dia memang sibuk— bahkan waktu weekend pun ia gunakan habis untuk mengerjakan pekerjaannya seharian dalam kamar.

Aku segera menutup pintu, kemudian mulai menelusuri jalan menuju kesekolah dengan roti penuh dalam mulutku.

“Annyeong,” Sapa seorang pria dari belakang, ia menepuk pundakku pelan.

“Ha?Nyam…nyam…nyam…nyam(baca: Kyuhyun-ssi sedang apa kau?)” saking kagetnya aku sampai sulit menelan roti dalam mulutku, seakan roti itu betah menyangkut dalam kerongkonganku.

“Aish, bicara apa kau?” tanyanya heran, tangannya menyobek—dalam potongan besar— sebagian roti yang masihku genggam kemudian turut memakannya.

“Nyam…nyam…nyam…(baca:kalau begini apa kita bisa saling mengerti?).” katanya mengikuti ekspresiku tadi, lucu sekali melihat kedua pipinya mengembung dipenuhi makanan. Membuatku rasanya ingin tertawa.

Melihatnya begitu lucu membuatku makin sulit mencerna makanan dalam mulutku, “Nyam…nyam…nyam(baca:Apa yang kau katakan?).”

“Nyam…nyam…nyam…(baca: Apa kita terlihat bodoh?).”

“Nyam…nyam…nyam…(baca:Aku tidak mengerti Kyuhyun-ssi).”

“Nyam…nyam…nyam?(baca:Kau bicara apa?kita terlihat benar-benar bodoh karenamu).”

Kami pun tertawa bersama, dan tersedak tentunya. Dengan makanan penuh dalam mulut, kami memang tidak bisa tertawa terbahak seperti itu. Sontan kami menelan roti yang rasanya pun sudah aneh dalam mulut kami.

“Ada apa denganmu? Kau berangkat lebih pagi dari biasanya?” tanyaku setelah menegak air mineral yang ku bawa.

“Umma dan Appaku hari ini bawel sekali. Membangunkan aku dengan paksa, dan mengancam membuang gameku kalau aku terus telat.”

Aku tertawa melihat wajahnya yang mengerutu seperti itu, dan tiba-tiba aku menyadari jarak kami yang tidak jauh—tidak dekat juga— tapi cukup seakan kami berjalan bersama. “Kau tidak takut denganku?” tanyaku hati-hati, aku tidak ingin menyinggungnya tapi akupun merasa hari ini dia berbeda dan aku perlu jawabannya.

“Wajahmu itu… Tidak ada alasan untuk takut padamu.”

“Senang sekali mendengarnya.”

“Tapi tetap jaga jarakmu. Aku memang mulai terbiasa dengan mu—tentu karena kau sering menyusup—dalam hidupku kini tapi tetap saja wanita itu tidak seindah keliatannya.”

“Apa maksudmu? Aku tidak mengganggumu?”

“Menerorku dengan cokelat, membuatku hampir mati penasaran karena dikuntit terus setiap hari, apa itu tidak mengganggu?”

“Setidaknya aku tidak menjahatimu, aku juga bukan pembunuh jadi kau tidak perlu takut…”

“Pembunuh?” sorot matanya berubah ketika mengucapkan kalimat itu, entah seperti menunjukan sorot mata sesorang yang tersiksa. Ia menghentikan langkahnya dan menunduk, membirkan wajah cerahnya tertutup rambut bagian depannya. Seketika akupun menghentikan langkahku untuk melihatnya. Aku merasa menyinggung sesuatu, tapi entah itu apa aku juga tidak mengerti.

“Kyuhyun-ssi?” tanyaku bersiap melayangkan tanganku menuju pundaknya untuk menyadarkan ia dari lamunannya.

“Kau baik-baik saja?”

“Semoga kau juga bukan pembunuh…” katanya meneruskan kembali langkahnya, kini ia kembali pada sosok aslinya yang diam. Hanya menunjukan senyum tanpa artinya yang membuatku semakin bertanya-tanya.

*

“Appa?” setibanya dirumah aku kaget melihat siapa yang sekarang duduk di Ruang keluarga kami. Walau terlihat wajar, namun Appa bukanlah orang yang sering menghabiskan waktu dirumah. Ia terlalu disibukan dengan setumpuk pekerjaannya yang sekan tidak pernah habis. “Ku pikir Appa tidak pulang hari ini. Walaupun kau pulang, biasanya diatas jam tidurku Appa. Mengapa hari ini kau pulang lebih awal?” tanyaku heran.

“Hyunnie, apa kau tidak senang Appamu pulang?”

“Bu-bukan begitu Appa, tentu aku senang.” Aku memeluk Appa sebagai tanda penyambutanku. Kemudian duduk disampingnya. Tentu aku merindukan orang yang berada disampingku ini, walau memang intensitas bertemu kami memang sangat jarang. Namun semenjak kepergian umma, hanya Appa yang aku punya dan dialah hartaku yang berharga kini. Aku pun tidak menyesalkan mengapa ia harus dipenuhi jadwal padat yang membuat kami jarang sekali bertemu sebagai Ayah dan anak, karena semua yang Appa lakukan adalah untuk membahagiakanku dan tidak ada alasan lain, Karena itu aku sangat menghormatinya.

“Taeyon onnie, tidak kemari?” tanyaku.

“Tentu dia kemari, tapi kau lama sekali katanya, dia terburu-buru sepertinya.”

“Aigoo, mian onnie.” Jawabku menujukan rasa penyesalan, memang tadi aku cukup menghabiskan waktu ku untuk memikirkan hal indah yang barusan ku alami. Melihat sikap Kyuhyun tadi, membuat tubuhku bergidik. Walau selalu berakhir aneh, tetap saja aku senang berbicara dengannya dari dekat.

“Hyunnie, apa kau mau kubuatkan pesta perpisahan seperti biasanya?” Appa memulai topic yang tidak asing bagiku.

“Pesta perpisahan untuk apa?”

“Apa aku belum mengatakan sebelumnya?”

“Ahni, Appa. Mengatakan apa?” aku balik bertanya heran, topic tadi adalah topic yang sering kali diangkat ketika kami hendak pindah dari satu kota ke kota lain untuk urusan pekerjaan Appa. Jadi apakah…

“Perusahaanku kini membuka cabang besar di Gangnam dan kantor pusat akan dipindakan kesana. Tentu aku akan mengelola cabang pusat tersebut karena saham yang ku tanam jauh lebih besar—“

“Apa maksudmu Appa? kita akan pindah ke Seoul?”

“Ya, Hyunnie. Cabang di Kaesong ini kini sudah akan diambil alih oleh temanku.”

“Wae? Terlalu cepat Appa, ini baru 2 tahun…” Aku merendahkan suaraku, walau kecewa mendengarnya tapi aku bukan orang yang bisa menentang perkataan Appa dengan mudah. Tanpa sadar sesuatu mengalir dari ekor mataku, menetes perlahan menelusuri pipiku.

“Kau kenapa hyunnie? Kau menangis?” Appa menyeka butir Kristal yang meninggalkan jejak dipipi kiriku, mengusapnya pelan dengan tangan besarnya yang hangat.

“Appa… tidak bisakah kau mengisi cabang lain tetap di Korea Utara?”

“Sebelumnya aku belum pernah membuka cabang diluar Korea Utara, bukankah ini adalah luar biasa karena perusahanku mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam kurun waktu Sepuluh tahun terakhir ini Hyunnie, Apa kau tidak bangga dengan itu?” terang Appa antusias, melihatnya membuat aku tidak tega mengatakannya. Aku ingin tetap tinggal, aku ingin tetap tinggal Appa. Mengapa kau tidak mendengar suara hati anakmu ini?

Aku tidak menjawab, mataku kini mulai basah. Sontan Appa mengusapkan tangannya pada rambutku berusaha menenangkanku selayaknya orang tua yang menenangkan anak bayinya yang sedang menangis kehilangan mainannya.

“Setelah di Seoul, kita akan menetap terus disana. Karena kantor cabang kemungkinan tidak akan berpindah lagi. Jadi kau tidak akan kehilangan teman-temanmu lagi, Hyunnie. Aku mengerti perasaanmu kini, tapi tolonglah jangan menangis seperti ini. Jangan membuat umma-mu memarahiku melihatmu seperti ini. Apa kau tidak senang melihat keberhasilan Appa mu ini hyunnie?” Sambung Appa menjelaskan, sambil terus mengusap kepalaku. Mendengar Appa menyebut Umma membuatku semakin ingin menangis. Bagaimapun aku selalu menghormati Appa yang sudah merawatku dengan baik seorang diri namun, kehidupan remajaku baru saja dimulai kini. Apa aku harus mengakhirinya lagi?

“Ahni Appa, aku selalu senang melihat kesuksesan mu… Hanya saja, aku memliki alasan yang kuat untuk tetap tinggal.”

“Alasan?”

TBC