Enchanted (Part. 6)


Seo Joohyun/Cho Kyuhyun/Choi Minho & The others cast. | Romance & Friendship | PG-15.

Original by AdillaSB ( twitter & facebook ):

(Baca juga cerita sebelumnya Part. 1Part. 2Part. 3Part. 4, dan Part. 5)

 

“Bagi Seo Joohyun mengutarakan perasaannya bukan sesuatu yang mudah. Saat persahabatan mereka dipertaruhkan, Seohyun merasakan ada yang salah dengan dirinya.”

 “Seohyun, apa kau ingin menjelaskan sesuatu padaku?” tanya Minho curiga.

Aku jelas tidak tahu mengenai hal ini. Apa yang harus aku katakan?

Aku menoleh pada pria yang tengah meneguk gelas anggurnya dari balik punggungku. Mungkin masalah aku mengenal Yuri atau tidak sebelumnya memang menjadi pertanyaan besar dibenak Minho, tapi yang sangat menggangguku adalah alasan kenapa Yuri selalu menjadi fokus dari rekaman itu. lantas, apa hubungan mereka?

Entah kenapa tubuhku menegang. Ada yang harus aku tanyakan pada Kyuhyun mengenai hal ini. “Minho, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Sahutku sebelum mengakhiri panggilan. Lebih baik menutup sambungan dibandingkan mencari-cari alasan yang nantinya dapat membuatku terjebak dalam situasi yang serupa. Aku memilih mematikan ponselku sementara, Minho pasti akan segera menghubungiku lagi dan lagi. Disisi lain, aku juga butuh ketenangan untuk memikirkan ini.

Tidak lama aku memutuskan segera kembali pada mini bar yang terdapat didapur apartemen milik Kyuhyun itu, sementara ia masih duduk dalam bangku tinggi yang melingkari setengah mejanya “Bibi sudah menyuruhmu pulang?” tanya Kyuhyun ketika aku sudah berada tepat dihadapannya.

“Tidak,” jawabku singkat.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?”

Sontan aku tersentak mendengar pertanyaan Kyuhyun, pemandanganku segera buyar pada apapun yang tertangkap mataku selain wajah Kyuhyun. Seperti dapat membaca pikiran yang bergulat megenai apa dan bagaimana harus memulai pertanyaan ini, Kyuhyun beralih menyimpan gelas anggurnya lalu menatapku penasaran,  “Ada yang ingin kau tanyakan?”

“Hng.. Iya, sebenarnya aku ingin menanyakan—“

Tiba-tiba dering ponsel milik Kyuhyun yang kini terdengar nyaring. Segera ia merogoh saku celana sebelah kanan dan mengeluarkannya, “Seohyun, sebentar.” sahutnya sebelum menempelkan benda tersebut ke telinganya. “Halo, Ibu… Terimakasih… Ah, bukan masalah besar. Aku tahu kalian sibuk… Tidak, dia tidak bersamaku. Oh, sudahlah jangan membicarakannya lagi bu…” Kyuhyun menoleh kearahku dengan seulas senyum bak isyarat untuk bersabar menunggunya mengobrol sebentar dengan seseorang yang ia panggil ibu itu. “Ya, aku sedang merayakan ulangtahun di apartemenku…. Wah, dari mana kau bisa menebaknya?…. Oh tidak hanya teman biasa bu. Sungguh.” Kyuhyun beranjak dari bangku menuju ruangan sisi lain apartemennya. Sepertinya mereka sedang membicarakanku—siapa lagi yang sedang merayakan bersamanya, dan tidak ingin membuatku merasa terganggu.

Keheningan yang menyergap selepas Kyuhyun beranjak dari hadapanku memberi waktu tambahan untuk menyusun kata-kata yang baik agar tidak menyinggung perasaannya—jika benar Yuri ada sangkut pautnya dengan semua ini. Diluar pikiranku yang sibuk, terdengar suara seseorang menekan bel dari luar pintu sedangkan Kyuhyun masih asyik bercakap-cakap melalui ponsel miliknya dan tidak menggubris bunyi itu hingga beberapa kali bel kembali  terdengar.

Aku beranjak dari kursi tinggi itu menuju sumber suara, kemudian menekan satu-satunya tombol pada interkom dan melirik layar kecil yang tersedia disana. Seorang pria mengenakan seragam lengkap dengan topi berwarna senada membawa serta sebuah kotak berwarna putih terlihat jelas dari layar. Aku membuka pintu dan mendapati sebuah kiriman dari seseorang yang tidak mencamtumkan namanya disana. Setelah menandatangani sebuah berkas penyerahan kiriman tersebut, pria kurir itu segera pergi.

“Apa yag kau lakukan disana?” tanya Kyuhyun mengintip dari dinding yang menghalangi dapur dengan ruangan yang terdapat ditengah—yang langsung berhadapan dengan pintu masuk, “Apa itu?” tanyanya lagi ketika mendapati sebuah kotak putih berada dalam genggamanku.

“Sepertinya sebuah kiriman untukmu.”

“Benarkah?”

Kyuhyun menghampiriku beberapa langkah, lalu berhenti dengan sendirinya. “Apa kau bisa membukakannya untukku, Seohyun?” pinta Kyuhyun yang dengan senang hati segera aku turuti.

Dan sebuah kue berukuran sedang lengkap dengan ucapan selamat yang terukir indah diatasnya terlihat dari balik penutup yang menghalanginya, terdapat pula sebuah kartu ucapan berwarna biru polos menempel pada sisi dalam penutup dari kotak tersebut. “Tidak ada salahnya untuk merayakan hari ini dengan sebuah kue yang istimewa. Selamat ulang tahun, Cho Kyuhyun.” Aku membaca tulisan yang terdapat disana lalu mendongak menatap Kyuhyun yang belum menunjukan ekspresi apapun, “Wah kelihatan sangat lezat, kau tidak ingin menyicipinya?”

“Tidak,” jawab Kyuhyun singkat kemudian kembali ke dapur dengan posisi yang sama dengan sebelumya. Raut muka Kyuhyun berubah—sesuatu yang sama yang aku lihat saat menemukannya tengah mabuk beberapa hari yang lalu, dengan acuh ia kembali meneguk minuman tanpa melirik barang sedetik pun kearahku yang mengikutinya dari belakang.

“Ada apa sebenarnya?”

“Kau boleh mengambil kue itu kalau kau mau, jika tidak suka buang saja.”

“Hei, kau kenapa?” tanyaku lagi menekankan pada pertanyaan serupa yang sebelumnya belum terjawab. Namun, lagi-lagi Kyuhyun hanya diam tanpa memberikan jawaban apapun. “Kira-kira siapa yang memberikan kue ini ya?” gumamku memutar kotak tersebut mencari sebuah tulisan atau inisal yang mungkin tersembunyi diantaranya.

“Aku bilang buang saja!” seru Kyuhyun.

Aku tersentak mendengar nadanya yang meninggi, “Kau ini kenapa? Jika kau membenci hadiah ini, setidaknya hargailah sedikit.”

Kyuhyun hampir meninggalkan bangku tingginya sebelum kalimat yang terlontar dari mulutku sempat menghentikannya sebentar, “Kau tidak mengerti.”sahutnya lalu kembali melangkah menuju ruang tengah kemudian duduk pada satu-satunya sofa memanjang yang terdapat disana.

“Apa Yuri yang memberikanmu kue ini?”

Eh? Apa aku tadi mengatakan ‘Yuri’? Kurasa pertanyaan ini tidak berada ditempatnya—terbukti dengan cepat Kyuhyun melirikku dari tempatnya duduk, “Kau mengenal Yuri?”

Kali ini tatapan Kyuhyun tajam bak ingin menerkamku segera. Perlahan aku menghampiri Kyuhyun lalu duduk disisinya, “Baru saja kenal lebih tepatnya.” kataku membenarkan kemudian kembali melanjutkan, “Seseorang yang pernah aku ceritakan padamu. Cinta pertama Minho—“

“Jadi laki-laki yang sedang dekat dengan Yuri sekarang adalah sahabatmu itu? pantas saja wajahnya tidak asing bagiku.” sela Kyuhyun.

“Dan beberapa jam yang lalu ia baru saja menonton video pertandingan darimu lalu menghubungiku hanya untuk menanyakan pertanyaan serupa. ‘Apa aku mengenal Yuri?’ kau jelas lebih tahu jawabannya.”

Hening. Aku berusaha tidak beraksi menunggu Kyuhyun menceritakan sesuatu mengenai Yuri sebelum akhirnya aku benar-benar harus memaksanya bercerita.

“Kau ingin mendengar ceritaku?”

Sepertinya aku tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk memaksanya, Kyuhyun dengan sendirinya menawarkan kisahnya secara obral. “Hng? Tentu.”

“Enam tahun lalu ketika aku masuk Sekolah Menengah Pertama nama Kwon Yuri begitu terkenal, baik pria atau wanita membicarakannya. Setiap tiga sampai enam bulan sekali ia berganti pacar, hampir seluruh pria disekolah pernah ia kencani. Begitu buruk orang-orang memberikan cap pada dirinya, tidak heran ia menjadi seorang penyendiri karena semua wanita membencinya.” Kyuhyun memberikan jeda ceritanya untuk sesekali menghela nafas, “Suatu hari aku menemukan Yuri menangis sendirian disebuah bangku taman, dengan enggan akhirnya aku bertanya padanya kenapa ia menangis saat itu lalu ia menjawab bahwa ia membenci kehidupannya yang sekarang. Hanya sebuah pelampiasan untuk memuaskan batinnya yang terluka karena seorang pria katanya. Setelah itu tiap kali melifat Yuri, aku mulai berfikir bahwa sosok yang selama ini ia tunjukan pada semua orang bukanlah sifat aslinya—walaupun aku memang tidak mengetahui sejauh apa yang dilakukan pria itu hingga Yuri terluka, tapi aku benar-benar yakin bahwa ia adalah gadis yang baik.

“Semenjak hari itu, aku mulai mendekati Yuri sebagai seorang teman. Selalu bersamanya diberbagai kondisi, melindunginya sebisaku dan dengan obsesi besarku untuk menjaganya hingga aku diam-diam mengikuti Sekolah Menengah Akhir yang ia pilih.”

Aku terdiam mendengarkan cerita panjang Kyuhyun, selain kaget aku ingin mendengar semuanya hingga akhir. Sesuatu yang merubah kilat mata Kyuhyun menjadi amat—sangat menyedihkan, ketika membicarakannya. Kyuhyun kembali melanjutkan, “Yuri menyambutku dengan gembira ketika mengetahui kami berada dalam sekolah yang sama, ia mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan kebetulan yang sangat menyenangkan dan ia menyukainya, terlebih ia mengatakan kalau Tuhan memang sudah merencanakan untuk kami berteman selamanya. Aku sangat senang ketika ia mengatakan itu, saking senangnya hingga banyak kebetulan lain yang aku ciptakan hanya untuk membuatnya semakin senang bersamaku.Berpura-pura menjadi Tuhan dan memaksakan takdir yang pada dasarnya memang bukan seperti yang aku mau. Pada suatu hari ketika melihat Yuri berpacaran dengan seorang pria lain, aku mulai menyadari kalau aku memang benci melihat hal itu. Semua perhatian dan kasih sayang yang aku berikan bukan semata-mata untuk dilihat hanya sebagai teman. Akhirnya aku sadar bahwa aku mencintainya. Sangat mencintainya…”

Aku meringis pelan, berharap tidak membuat Kyuhyun mendengar dan lebih parah lagi mengehentikan ceritanya. Syukurlah itu tidak terjadi. Kyuhyun kembali melanjutkan ceritanya, “Aku menyimpan seluruh cinta ini hingga datang waktu yang tepat. Hingga suatu hari sebelum pertandingan basket awal musim antar-Universitas itu, aku menyatakan perasaanku lalu memberikan sebuah cincin padanya. Aku begitu percaya diri Yuri akan menerimaku hari itu, namun ternyata salah besar. Aku menjadi orang pertama yang pernah ia tolak. Ia mengatakan tidak ingin merusak hubungan kami sebagai seorang sahabat selamanya. Jelas aku membenci kata ‘selamanya’ itu yang awalnya menjadi sesuatu yang terdengar manis ditelingaku.”

Kyuhyun menghentikan ceritanya untuk menyeka sudut matanya, “Kenapa melihatku dengan mata berkaca-kaca seperti itu? kau seperti bercermin pada dirimu sendiri?” sindir Kyuhyun.

“Aku hanya terharu saja. Ada orang lain yang bernasib sama denganku.”

“Kau ingin tahu sesuatu, Seohyun?” tanya Kyuhyun santai, merubah mimik wajahnya kembali seperti biasa—menghilangkan rona kelabu yang ia tunjukan ketika menceritakan masalalunya itu, “Terlepas dari cerita aku dan Yuri, ketika pertama kali bertemu denganmu lalu mendengar ceritamu, aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan sekarang. Benar-benar seperti bercermin, walau aku memang tidak mengenal Yuri selama kau mengenal sahabatmu itu.”

“Minho,” sahutku terlebih dahulu.

“Aku tidak pernah percaya sesuatu yang namanya kebetulan, karena selama ini aku selalu menciptakan sesuatu yang seolah terlihat sebagai suatu kebetulan dimata Yuri.”

Aku menunggu Kyuhyun melanjutkan, “Sejak awal bertemu denganmu, aku masih belum yakin dan tidak pernah memikirkan ini sebelumnya. Namun pertemuan kedua kita di Rumah Sakit, Hall, kedai Ramyun dan seterusnya, aku benar-benar tidak merencakannya. Ini pure hanya kebetulan. Dan terkahir kali, ketika aku mabuk setelah melihat Yuri berkencan dengan Minho… saat itu aku terpukul sekali, dan kau orang yang menemukanku. Mungkin ini seperti lelucon, Seohyun. Tapi percayalah, setelah itu aku benar-benar ingin bertemu denganmu lagi, lagi dan lagi.”

Deg. Aku merasa pembicaraan ini sudah jauh keluar dari topik. Apa maksud Kyuhyun menceritakan semua ini? Entah kenapa rasanya nafasku segera berhenti, bibirku terkatup rapat dan yang lebih parah jantungku seperti ini melonjak keluar.

“Kebetulan tidak selamanya berpihak padaku, lalu aku memutuskan untuk mendekatimu. Berharap bisa melupakan Yuri dan memulai semuanya dari awal.”

Pernyataan yang mengejutkan. Aku menutup mulut dengan kedua ujung-ujung jemariku—tak percaya dengan apa yang aku dengar, “Memulainya dari awal?” aku mengulangi kalimat terakhir Kyuhyun, menaikan alisku tidak mengerti.

“Jika memang tidak ada harapan lagi, lupakanlah dia…”

“Kita sudah sampai.” sahut Kyuhyun, membuatku menyadari pemandangan yang tidak asing dibalik jendela buram diluar mobil. Sepanjang jalan kami tidak berbicara apapun—membiarkan keheningan malam menyergap kekosongan diantara kami yang berubah menjadi sesuatu yang bernama Canggung.

“Oh benar. Terimakasih telah mengantarku.”

Kyuhyun membuka jendela ketika aku sudah beranjak turun dari mobil, “Sampaikan salam pada bibi dan terimakasih karena sudah membuat pesta kecil ulangtahunku.” kata Kyuhyun lalu melambaikan tangan dan kembali menutup jendelanya. Aku membalas lambaian Kyuhyun hingga mobil hitam itu hilang dari jalan.

Entah kenapa semua yang terjadi malam ini bagai sebuah mimpi bagiku. Aku belum pernah mendapatkan ssebuah pernyataan cinta sebelumnya, selain itu aku juga belum pernah memikirkan untuk meninggalkan Minho selama ini. Kyuhyun terlihat begitu yakin namun aku masih belum bisa mendefinisikan perasaan yang aku rasakan terhadapnya. Apa ini cinta? Aku merasa tidak terlihat seperti itu. Ah, tidak. Aku benar-benar tidak tahu.

“Kau habis berkencan?” tanya Minho yang ternyata sudah berada dihadapanku tanpa aku sadari. “Pantas saja. Kau tahu aku sudah menunggumu disini sampai tertidur?” Minho mendengus, terdengar nada kesal dari kalimatnya.

“Maaf.”

“Kenapa kau mematikan teleponku lebih dulu, Seohyun? Apa kau menghindari sesuatu?”

“Sama sekali tidak—“

“Kau belum menjelaskan apapun.” Potong Minho.

Aku merasa terpojok, dapat ku tebak Minho pasti akan bertanya mengenai Yuri dalam video itu. Terlihat jelas Minho sangat penasaran, apa jatuh cinta membuatmu buta pada sahabatmu sendiri?Cih. entah kenapa aku merasa jengkel mendapati Minho selalu mengikutsertakan Yuri pada topik pembicaraan kami, “Aku tidak ingin menjelaskan apapun, Minho.” Sergahku membawa nada kesal dalam kalimat itu.

“Tapi kau harus menjelaskan sesuatu—“

“Maaf, aku memang sedang berkencan tadi malam. Ya, aku sedang sibuk berkencan dan tidak ingin siapapun menggangguku…” kataku, menekankan kata terakhir pada kalimat yang aku ucapkan. Sepertinya cemburu dapat membuat seseorang menjadi pribadi yang jahat, dan aku merasakan itu pada diriku sendiri.

“Maafkan aku,” kata Minho lirih. “Aku minta maaf  karena mengganggumu.”

Aku mengangkat wajah Minho yang tertunduk dengan kedua telapak tangan yang menopang dagunya—sesuatu yang menjadi kelemahan besarku adalah melihat Minho bersedih, aku jelas-jelas tidak dapat membiarkannya. “Kau tidak sepenuhnya mengganggu.” Hiburku, “Baiklah, aku akan mengaku sesuatu. Mengenai video itu… maaf, itu bukan video miliku. Aku hanya meminta pada seseorang jurnalis kampus dari universitas lain yang turut meliput.”

“Jadi kau membohongiku?”

“Tidak, aku tidak bermaksud membohongimu. Sungguh.”

“Tapi kau jelas-jelas membohongiku, Seohyun.”

“Oke, aku punya alasan—“

“Masuklah dan beristirahat! Aku tidak ingin marah padamu, jadi kita akhiri saja pembicaran ini. Selamat tidur.” Minho berbalik menuju pintu gerbang rumahnya dan aku sama sekali tidak dapat mencegahnya. Aku merasakan sesak yang amat sangat, kemudian menepikan telapak tangan pada dadaku yang nyeri. Minho tidak pernah marah padaku, aku pun merasa tidak pernah membuatnya marah sejauh ini. Pria yang paling ingin aku lindungi, tanpa sadar telah aku lukai dengan tanganku sendiri.

Rasanya matahari juga belum bangun dari peristirahatannya, sementara aku sudah terjaga untuk membuatkan beberapa bekal pengiring pertandingan kedua Minho hari ini. Bukan sesuatu hal yang baru bagiku untuk bangun pagi buta sekedar menyiapkan bekal seperti ini untuk Minho, banyak hal lain yang aku lakukan sebelum fajar sekedar membantu pria itu menjalani kehidupannya yang seorang diri itu—termasuk mengerjakan tugas-tugas Minho yang terlupakan akibat fokus pada kegiatan basketnya. Berperan bak aku adalah ibu yang mengandung sembilan bulan lamanya. Oh tidak, aku tidak pernah menyesal melakukan ini karena Minho berhak mendapatkan kasih sayang yang sama seperti yang aku atau anak-anak seusia kami dapatkan.

Aku tentu ingat bagaimana kejadian kemarin malam dan bagaimana dia menatapku yang telah membohonginya. Kecewa? Sudah pasti, tapi itu tidak menjadi alasan untuk aku berhenti menjadi sahabatnya, berhenti membantunya, atau berhenti mencintainya. Untuk hal terakhir, entah kenapa aku harus menimbang-nimbang kembali. Antara cinta dan persahabatan, aku tidak bisa mempertaruhkan keduanya sekaligus. Terlalu serakah…

Lagipula pernyataan Kyuhyun kemarin, sebenarnya cukup membuatku tidak bisa tidur memikirkan itu semalaman. “Jika memang tidak ada harapan lagi, lupakanlah dia…” satu kalimat yang mengganggu pikiranku. Apa cinta bisa terjadi secara kilat? Bahkan kami belum saling mengenal satu sama lain,lantas semua itu tidak bisa dikategorikan sebagai cinta. Namun aku juga tidak ingin menolaknya, hatiku akan sedih mendengarnya. Bisaku nilai diriku sendiri; plin-plan.

Hampir dua jam dan akhirnya selesai sudah dua kotak yang berisi makanan serta potongan buah-buahan segar. Ku masukan kedua kotak tersebut ke dalam kantong kecil berwarna merah dengan sebuah pita besar yang melingkarinya.

“Apartemen yang besar, kemana semua orang?” tanyaku setibanya kami didalam kediaman Kyuhyun.

Kyuhyun menyalakan semua lampu yang terdapat diruang pertama tempat kami berpijak, “Tidak ada. Sejak nenekku meninggal tiga tahun lalu, aku benar-benar hidup sendirian.”

“Orangtuamu?”

“Mereka bekerja dikedutaan Korea Selatan untuk Amerika Serikat. Aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali berinteraksi lewat ponsel.” Kata Kyuhyun tanpa melirik padaku, ada mimik yang tersembunyi disana. Kesepian? Apa mungkin pria itu kesepian?

Potongan percakapan yang terbesit dipikiranku mengikut sertakan sebuah senyum yang masih sangat ku ingat detail-detail lekuknya. Cho Kyuhyun, pria yang juga malang. Kesepian… aku jelas melihat itu dari kilat matanya saat bercerita—walau ia dengan tegas mengelaknya. Entah kenapa aku tergerak untuk membuat dua kotak lain khusus untuknya. Kupikir mungkin Kyuhyun belum pernah mendapat bekal buatan tangan langsung dari seseorang—mengingat orangtuanya tinggal jauh darinya sejak kecil.

“Saat pertandingan selesai, aku akan mampir ke apartemen Kyuhyun.” Gumamku pada diri sendiri.

Setelah selesai dengan dua kantong penuh bekal makanan, aku bersiap merapihkan diriku; bersolek sedikit lalu beranjak menuju kediaman Minho lebih dulu.

Tepat ketika aku membuka gerbang rumahku, Minho sudah berada disana. Berdiri dengan tangan melayang hendak meraih gagang besi—yang sudah aku tarik lebih dulu. “Minho, kau sedang apa?”

“Tidak,” sergah Minho segera menyembunyikan kedua tangan dibalik punggungnya.

“Lantas, kenapa kau bediri didepan gerbang rumahku?”

“Seohyun, aku ingin meminta maaf padamu. Mungkin semalam aku terlalu emosi dan penasaran akan sesuatu hal.”

“Yuri?” tebakku, “Aku yang seharusnya meminta maaf karena telah membohongimu, Minho.”

“Ya. Lupakanlah. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah ini.” Kata Minho kemudian beralih menatap sebuah kantong merah yang berada digenggamanku, “Untukku?” tanyanya menunjuk kantong itu.

Aku mengangguk, “Sarapan sebelum pertandingan. Minho, Fighting!~” sahutku menyodorkan benda itu pada Minho. “Aku menantikan permainan terbaikmu nanti.” Minho memberikanku pelukan sebagai ucapan terimakasihnya sebelum benar-benar pergi meninggalkanku lebih dahulu karena harus datang satu jam lebih awal sebelum pertandingan dimulai. Aku amat bersyukur karena tidak ada masalah serius yang terjadi diantara kami. Semalaman aku menghabiskan waktu untuk berfikir bermacam-macam kemungkinan Minho menolak bekal pemberian dariku atau bahkan lebih parah dari itu.

Tapi memang semalam itu Minho tidak seperti biasanya. Ia bukan tipe pria emosional, sebegitu cintanya ia dengan Yuri hingga hal kecil membuatnya begitu marah?

Ah, aku tidak ingin memikirkan itu.

Minho memberikan permainan terbaiknya dengan menyumbang beberapa point—yang menjadi salah satu pemain terbaik dengan banyak sumbangan angka pada timnya. Seluruh penonton yang duduk dibangku selatan gymnasium ini bersorak girang menyambut kemenangan sekaligus menandakan bahwa perjalanan tim basket yang mereka dukung belum berhenti sampai disini.

Aku hendak berjalan menuju tangga yang mengarah pada lantai bawah—lapangan untuk secara langsung memberikan selamat pada Minho atas kemenangannya. Satu pemandangan yang sontan menghentikan langkahku menuruni beberapa tangga terakhir. Sudah berada wanita lain disana, memeluk Minho sebagai ucapan selamat sertamerta membawa tawa gembira yang tak lepas dari wajahnya.

Yuri tampak lebih cantik dengan kostum pemandu sorak yang ia kenakan. Memperlihatkan sebagian sisi perutnya yang tak tertutup kostum. Lagi; dadaku kembali terasa sesak, rasanya seperti mengenakan kemeja yang terlalu sempit dan membuat tenggorokanku bagai tercekik. Aku tidak dapat melanjutkan perjalanan yang tinggal selangkah lagi, akan lebih menyakitkan menyaksikan keakraban mereka dari dekat.

Aku memilih kembali menaiki tangga yang semula aku lalui, kemudian beranjak mengikuti penonton lain yang lambat laun berkurang berlalu meinggalkan pertandingan yang sudah selesai.

Tak terasa semakin lama aku semakin sulit menyembunyikan kesedihan diriku sendiri. Entah kenapa semuanya terasa begitu tak tertahan lagi. Aku juga tidak menyadari sejak kapan aku menjadi sosok wanita cengeng seperti ini? Tidak lama setetes air mata terjun bebas menelusuri tulang pipi dan berujung didaguku—meninggalkan jalur yang sebelumya sudah aku hapus beberapa kali.

Duk. Tiba-tiba aku merasa kepalaku terantuk pada tubuh seorang yang nampaknya jauh lebih tinggi dariku. Mengingat bagaimana Yuri dan Minho bercengkrama tadi membuat aku lupa untuk memperhatikan apapun, termasuk jalan yang aku tapaki. Aku menundukan kepala menyembunyikan wajahku—yang mungkin terlihat kacau, mengacuhkan reaksi pria yang aku tabrak itu dan memilih melanjutkan perjalanan pulang setelah meminta maaf beberapa kali dengan membungkuk.

“Seohyun?” sapa pria itu. melayangkan ujung-ujung jarinya untuk mengangkat daguku dan memastikannya, “Kau kenapa?” tanyanya lagi.

“Kebetulan lagi,” gumamku lirih, rasanya pita suaraku ikut tercekik. Aku mernghapus bekas-bekas air mata yang hampir mengering disekitar pipiku, “Aku tidak apa-apa, sepertinya ada debu yang masuk kedalam mataku. Omong-omong, sedang apa kau disini? Meliput lagi?”

Kyuhyun mengangguk. “Aku sudah mengatakan padamu, ini bukan suatu kebetulan biasa.” gurau Kyuhyun.

Pertemuan ini mengingatkan aku pada sesuatu, kemudian lekas merogoh kedalam tas lengan yang sedang aku jinjing dan mengeluarkan sebuah kantong merah dengan sebuah pita besar. “Untukmu.” Kataku menyodorkan benda itu pada Kyuhyun.

Kyuhyun membuka pita yang melingkarinya dan mengintip melalui celah diantaranya, “Bekal makanan? Rasanya seperti kembali ke bangku sekolah dasar.” Guraunya lagi.

Aku tersenyum samar, “Aku berniat mampir ke Apartemenmu setelah ini. Syukurlah kita bertemu—“ sebelum menyelesaikan kalimat terakhirku, aku melihat Yuri dan Minho keluar dari pintu utama bersamaan. Alasan yang membuat aku memilih pulang lebih awal tanpa memberikan satu patah kata ucapan selamat pada Minho, sahabatku. Sialnya, mereka berjalan kearah kami berdiri saat itu. Menahan air mata yang akan tumpah membuat panas tubuhku naik ke kepala, dan rasanya segera merubah warna wajahku menjadi kemerahan. Entah kenapa tubuhku mematung. Aku tidak bisa lari…

Kyuhyun menangkap lenganku dengan cepat dan menepikan pada dadanya yang bidang, membiarkan aku melepaskan kedua tangan yang sedaritadi menyembunyikan wajah yang sedang dirundu lara. Memberikan kehangatan dan ketenangan dalam pelukannya, sekaligus membiarkan aku membasahi bajunya dengan air mataku yang langsung tumpah. Aku memilih untuk tidak melepaskan pelukan itu, dan secara tidak langsung Kyuhyun sudah menyelamatkan aku.

Sekian menit telah berlalu, kurasa mereka tidak menghabiskan waktu yang lama untuk sekedar melewati tempat kami berdiri. Aku masih merasakan Kyuhyun membelai rambutku lembut, membuat hatiku sedikit tenang. Aku mendongak, “terimakasih.” Sahutku.

“Kau harus lihat tadi, banyak sekali yang melihat kita.” gurau Kyuhyun, “Banyak juga yang berbisik membicarakan kita. Omong-omong, wajahmu terlihat sangat kacau. Mau makan eskrim?”

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Kyuhyun lagi, rasanya ia sudah bosan membiarkan aku duduk memakan eskrim dan asyik dengan pikiranku sendiri tanpa menggubris pertanyaannya yang kesekian kali.

“Aku tidak apa-apa. Tidak seburuk perkiraanmu.”

“Hidungmu sudah merah begitu, bagaimana bisa tidak apa-apa?” sindirnya.

Aku tersenyum samar, “Memang ada apa-apa tapi sudah baik-baik saja. Terimakasih.”

“Seohyun, apa kau tidak memikirkan perkataanku kemarin? Jika kau memang berniat melupakannya perlahan, kau pasti bisa melakukannya.”

“Maksudmu?”

“Ya, aku tahu sulit sekali melupakan orang yang sudah kau cintai begitu lama. Aku juga mengalaminya. Tapi coba kau tersenyum seperti ini—“ Kyuhyun menarik sudut bibirku dengan kedua telunjuknya, memaksanya membentuk setengah lingkaran. “ketika melihatmu tersenyum seperti ini, aku tahu bahwa aku bisa melakukannya. Aku ingin kau belajar melupakan Minho dan berusaha menerimaku dengan ikhlas, seperti saat aku menutup mataku pada Yuri dan belajar untuk tidak memikirkan orang lain kecuali kau, Seohyun.”

Lagi-lagi Kyuhyun menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku pahami artinya, “Kita sama-sama saling membantu melupakan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, bukan berarti hanya pelampiasan sesaat. Coba kau pikir lagi pertemuan-pertemuan kita sebelumnya, deretan kebetulan yang tidak biasa. Apa bisa dikatakan sebagai garis takdir Tuhan?” sambung Kyuhyun.

Apa itu sebuah pertanyaan? Atau pernyataan lagi? Kyuhyun mengangkat sendoknya untuk melayangkan satu suapan kedalam mulutnya, sepertinya ia tidak sedang menunggu jawaban. Aku memilih diam.

“Seohyun, aku tidak memaksamu.”sahutnya lirih.

Apa begini rasanya mendapat pernyataan cinta dari seseorang? Apa sebingung ini kah ketika harus menafsirkan sendiri perasaanmu? Jika banyak orang yang mengatakan bahwa dirimu sendirilah yang mengetahui perasaanmu sendiri, aku merasa tidak demikian. Karena aku sungguh tidak bisa mengerti apa yang aku rasakan.

Jantungku berdetak kencang? Tentu saja.

Hatiku terenyuh luluh? Itu sudah pasti.

Lalu apa pikiranku sudah mantap dengan satu pria dihadapaku ini? Entahlah, masih ada orang lain disana. Kau tidak bisa mendepaknya dengan mudah, Seohyun.

Ditengah lamunan, getaran ponsel disaku jaketku masih dapat kurasakan. Sebuah panggilan dari Minho. Aku melirik sebentar, pria itu sepertinya tidak melarang aku untuk mengangkat panggilan dihadapannya. Eh, tunggu. Lagipula kenapa aku harus meminta izin padanya? Segera ku tekan tombol hijau pada layar…

“Kau tidak datang lagi?” tanya Minho tanpa menyapaku lebih dulu.

“Aku datang, kau saja yang tidak melihatnya.” Sahutku lalu melirik pada Kyuhyun yang mendongak menatapku yang sedang berbicara, “Ada apa, Minho?”

“Yuri datang lebih dulu memberikanku selamat, harusnya aku senang tapi percaya atau tidak aku berharap kau yang pertama menyambutku.”

“Apa—“

“Sekarang sudah jam dua belas siang, artinya sudah satu jam aku berdiri didepan gerbang menunggumu membukakan pintu. Anggap saja belum ada orang yang memberikanku selamat sebelumnya, bisakah kau menemuiku? Kakiku sudah mulai lelah.”

Mendengar nadaku yang meninggi sebelumnya Kyuhyun menyimpan sendok eskrimnya dan menatapku dengan alisnya yang terangkat—isyarat ia menanyakan apa yang terjadi disebrang telepon sana. Aku menghela nafas panjang, kenapa meninggalkan bangku ini sangatlah sulit? Sementara Kyuhyun masih menungguku bercerita dengan ponsel masih menempel ditelingaku.

“Seohyun?” tanya keduanya berbarengan. Baik Kyuhyun atau Minho yang berada disebrang telepon sedang menunggu jawaban yang terlontar dari mulutku selanjutnya. aku tidak dapat melihat Minho dan bagaimana reaksinya, apa ia benar-benar sedang menungguku disana? Tapi aku dapat melihat jelas wajah Kyuhyun yang berada tepat dihadapanku—kerut keningnya berbicara bahwa ia juga sedang menungguku berbicara, “Halo, Minho. Apa kau masih disana?Aku—“

To Be Continue

65 respons untuk ‘Enchanted (Part. 6)

  1. Ping-balik: Enchanted (Part 8/End) | Our Craziest Think

  2. nah loh bener kan si yuri yg buat kyu jadi gitu.. dan ceritanya pun sama sm si seo…
    dan ayolah kyuhyun udh berani itu ngajakin seo melupakan cintanya buat minho tapi kenapa disaat itu pula minho seperti beri harapan ke seo uh? aduh pusing pusing saya.. lanjut baca eonniiii 😀

Tinggalkan komentar