Enchanted (Part. 1)


Seo Joohyun/Cho Kyuhyun/Choi Minho & The others cast. | Romance & Friendship | PG-15.

Original by AdillaSB:

“Bagi Seo Joohyun mengutarakan perasaannya bukan sesuatu yang mudah. Saat persahabatan mereka ditaruhkan, Seohyun merasakan ada yang salah dengan dirinya.”

Pasti aku satu-satunya orang diseluruh dunia yang menginginkan liburan musim panas berakhir lebih cepat. Hanya ada satu alasan untuk itu: Pertandingan Basket awal musim merupakan langkah penentu bagi Choi Minho, sahabatku untuk melebarkan sayap didunia yang sudah ia geluti selama delapan tahun itu.

Kupacu mobilku lebih cepat dari biasanya. Jarum jam pendek itu menunjukan pukul sembilan pagi dan ini baru seperempat perjalanan. Lampu lalu lintas berganti merah, entah kenapa rasanya jalanan kota Seoul pagi ini bertambah ramai.

Aku menurunkan sebagian jendela. Menghirup udara segar adalah opsi terbaik menunggu lampu lalu lintas itu berganti warna. Ah, indah sekali! Mengapa aku baru menyadariya? Pantas, statistik wisatawan melonjak tajam. Seoul memang selalu indah.

Satu gambar lain—yang tak kalah indah menggantung dikaca dalam mobil berhasil mengalihkan pandanganku. Tiga bocah berusia 12 tahun dengan girangnya menunjukan medali yang menggantung dileher ketiganya. Mereka bukanlah atlit olahraga ataupun pemenang olimpiade sains, medali tersebut ditunjukan bagi pemenang lomba memakan Ramyun difestival Sekolah Menengah kami yang pertama.

Memutar ulang memori itu membuatku hampir seperti orang gila tertawa sendirian.

Kring—

“Halo—“

“Aigoo, kau tahu sekarang jam berapa? Kau dimana, Seohyun?” tanya Tiffany dengan volume tinggi dari sebrang telepon.

“Sepertinya aku akan terlambat, aku terjebak macet.”

“Bahkan kau sudah melewatkan setengah dari pertandingan. Kau tahu ini pertandingan penting bagi- nya?”

“Aku tahu. Maaf.”

Tiffany mengakhiri sambungannya. Aku tahu sekali ia marah. Tiffany adalah sahabat terbaikku setelah Minho; kami memang tidak selalu sependapat, bahkan kami memiliki karakter yang bertolak belakang. Namun hanya Tiffany yang mengetahui bagaimana lelahnya aku membuat bekal untuk Minho setiap pagi atau bagaimana aku terjaga semalaman menyulam syal kado Natalnya. Satu-satunya orang yang tidak bisa aku bohongi.

Baginya, aku menyedihkan. 12 tahun bukanlah waktu yang singkat dan aku melewatkan begitu saja ribuan kesempatan yang aku punya untuk menyatakan perasaanku pada Minho. Kurasa air mataku akan keluar, seperti baru kemarin ibu Minho menitipkan ia ke rumahku.

Aku, Tiffany dan Minho berteman sejak kami duduk dibangku sekolah dasar. Aku dan Tiffany adalah tablemate. Seperti yang aku katakan, aku dan Tiffany memang tidak setipe. Aku cukup tertarik dengan Tiffany yang merupakan bintang dikelas kami. Ia cukup pintar, walaupun dari segi prestasi aku berada jauh diatasnya. Satu hal yang selalu membuatku iri padanya, yaitu kepercayaan dirinya. Ia dapat berbicara dengan lantang didepan kelas, mengutarakan perasaan ataupun pendapatnya. Setidaknya ia akan menolak jika ia tidak menyukai suatu hal, berbeda denganku yang hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Sedangkan Minho adalah tetangga sebelah rumahku. Ibu Minho adalah orangtua tunggal, semenjak ayahnya meninggal bibi bekerja hingga larut malam. Untuk alasan itulah bibi menitipkan Minho dirumahku. Berbeda dengan yang lain, aku langsung merasa nyaman bahkan pada awal perkenalan kami. Minho selalu tahu bagaimana menenangkan bocah kecil yang cengeng ini.

Becerita membuat perjalanan jauhku terlupakan, tak terasa aku sudah tiba di parkiran Gymnasium. Aku bergegas menuju kedalam, tidak lupa mengalungkan kamera terlebih dahulu dileherku. Sorak sorai penonton menjadi back sound pemanis.

Dan betapa terkejutnya ketika pemandangan yang terlihat adalah lapangan kosong, juga penonton yang bergerak kearahku. Lalu pertandingannya?

Kring—

Ponselku kembali berdering. Aku tidak pernah berpikir lama sebelumnya sekedar untuk mengangkat panggilan dari kontak yang bernama Minho itu. Bagaimana jika ia bertanya mengenai pertandingan? Sepanjang hidupku belum pernah aku meninggalkan satupun pertandingannya.

“Halo, Minho-ah?”

“Kau dimana, Seohyun? Aku tidak melihatmu sepanjang pertandingan tadi. Kau datang kan?”

“Hmm.”

“Hei, lalu mengapa tidak turun kebawah?aku sudah membuatkan ID Card khusus untukmu. Apa kau tidak membawanya?”

Aku mengalihkan pandangan pada tanda pengenal yang sudah menempel pada kemejaku sedaritadi itu, “Maaf. Aku baru saja ingin memberitahumu mengenai ini. Aku hanya takut kau sedih.” Jawabku lagi-lagi berbohong.

“Ah, bukan masalah. Kedatanganmu adalah yang terpenting.”

Mendengarnya membuatku bergetar, “Be-be-narkah?”

“Tentu. Seohyun, apa kau merekam aksi ku tadi?”

“Ha?”

“Ya! Kau tidak lupa permintaanku kan? Aku sangat berharap kau tidak melewatkan aksiku tadi. Tiffany bilang itu lay-up tercantik yang pernah ia lihat. Bukankah itu pujian?”

“Lupa? Kau bercanda?Hahaha—“ jawabku. Aku tidak pernah melupakan suatu hal sebelumnya, apalagi yang berhubungan dengan Minho atau Tiffany. Bagaimana bisa?

“Seohyun, kau masih disana? Tiffany baru saja tiba. Iia menitipkan salam dan permintaan maaf karena tidak dapat menemuimu tadi. Ia harap kau tidak marah.”

Tiffany?Ia tidak mengatakan bahwa aku terlambat? Sudah tak terhitung berapa kali ia menyelamatkanku. Aku hampir membuat Minho membenciku. Ah, terimakasih Tiffany.

“Oh. Bukan masalah. Sampaikan salam ku padanya. Katakan padanya ia harus segera berkunjung kerumahku, akan ada banyak makanan disana.”

“Anyways, sekarang kami akan makan bersama setelah ini, apa kau mau ikut bersama kami?”

“Tidak, tidak. Aku sudah dijalan pulang.”

“Kalau begitu berhati-hatilah, sampai jumpa.”

Minho menutup telepon terlebih dahulu. Perasaanku kini benar-benar tegang; bagaimana mungkin aku mengiyakan sesuatu yang tidak aku kerjakan. Bodoh. Inilah kelemahan terbesarku; tidak dapat berkata tidak pada Minho. Bagaimana cara mendapatkan rekaman pertandingan Minho tadi?

Pandanganku mengendar keseluruh penjuru. Lapangan dan kursi penonton itu jelas sudah kosong. Tidak ada yang dapat aku tanyai mengenai jalanannya pertandingan tadi, selain.. Penjaga!

Aku berbalik berniat menuju ruang penjaga sebelum bahu seseorang yang bidang membentur tubuhku dengan cukup keras.

“Aw—“ jeritku. Pria bertubuh tinggi itu terus berjalan menuju bangku penonton pada wing selatan. Ia meneruskan jalannya tanpa menoleh, geraknya terlihat tergesa-gesa sambil berkeliling memperhatikan jalan.

“Hei, apa kau mencari sesuatu?” tanyaku sedikit berteriak.

Pria itu menoleh sebentar kemudian melanjutkan kegiatan berkelilingnya. Aku rasa dia memang mencari sesuatu. Aku berniat melanjutkan perjalanan menuju ruang penjaga, tapi sesuatu membuat hatiku bergerak untuk tidak beranjak…

Gelap mulai mendominasi langit yang tadinya biru dan matahari bersiap kembali ketempat peristirahatannya. Punggungku mulai terasa lelah menelusuri hampir lima ribu bangku penonton. Wajah pria itu mulai mengusam dengan rambut yang benar-benar berantakan.

“Ini.” Aku menyodorkan barang-barang yang ku temukan tadi. Dari mulai dompet, korek api, topi, sampai strap ponsel.

Pria itu menatapku curiga. “Kau membantuku mencarinya?” tanyanya heran.

“Tentu, kau pikir aku tega membiarkanmu mencari sendirian?”

“Terimakasih.” Pria itu membungkuk sebagai tanda terima kasihnya, “tapi diantara barang-barang ini, tidak ada barang yang aku maksud.” Katanya, menambahkan. Tak lupa satu senyum ia berikan sebelumnya. Tiap kata yang ia ucapkan terdengar hati-hati, seperti tidak ingin menyinggungku. Sopan sekali.

Walau begitu, mendengar jawabannya cukup miris untukku. Tulang-tulang punggungku hampir lepas dari tempatnya. ““Benarkah? Sayang sekali. Tapi kau mau mencari sampai kapan? Pintu gym ini akan ditutup sebentar lagi.”

“Entahlah. Tapi kau boleh pulang kalau kau mau.”

Ah, seperti sindiran. Rasanya dia mengusirku secara halus. Ia segera mengalihkan pandangannya ketempat lain dan kembali disibukkan dengan aktifitas ‘mencarinya’ lagi.

Aku berniat menuju parkiran sebelum sesuatu yang mengkilap mengalihkan pandanganku. Benda itu terletak dikolong salah satu bangku penonton. Aku mendekat untuk mengambilnya. Sebuah cincin perak dengan sebuah permata ditengahnya, cincin itu menggantung pada sebuah tali berwarna cokelat.

“Kau mencari ini?” tanyaku pada pria yang mulai melangkah menjauh dari tempatku berdiri.

“Ya!” jawabnya lantang. Ia bergegas menghampiriku.  Setelah kalung-cincin itu berpindah tangan senyumnya mengembang. “Terimakasih banyak.” Pria itu kembali membungkuk.

“Syukurlah. Akhirnya ketemu juga.” Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatku, lega sekali rasanya. “Tidak kusangka benda seperti itu yang kau cari. Sepertinya itu bukan cincin pria. Apa itu milik pacarmu?” tanyaku penasaran.

“Hahaha—“ tawanya lepas, sepertinya dia merasakan lega yang sama.“Perlu waktu yang panjang menceritakannya.” Sambungnya.

Pria itu mengulurkan tangannya, “Aku Cho Kyuhyun.”

“Seo Joohyun.” Jawabku menyambut jabatan tangannya.

“Oh ya. Tadi aku menabrakmu? Maaf.”

“Aku maafkan, ya sekarang aku tahu kau terburu-buru. Lupakan sa—“

Aku menghentikan kalimatku ketika tanda pengenal yang menggantung dileher pria itu menjelaskan identitas aslinya, “Kau? Wartawan kampus? Benarkah?”

“Ah, ini? Iya aku wartawan kampus dari Universitas X datang untuk meliput pertandingan perdana ini. Apa ada yang salah? Kenapa kau terlihat sangat gembira?”

“Apa kau merekam jalannya pertandingan tadi?” tanyaku antusias. Sepertinya ini adalah pertolongan Tuhan untukku.

“Tentu, ada dikameraku.” Jawab Kyuhyun ragu-ragu. Mungkin antusiasmeku terlihat menakutkan, tapi biarlah karena aku terlanjur mencium aroma selamat dari kebohongan yang aku buat sendiri.

“Benarkah? Maukah kau membantuku?”

“Mana kedua orangtuamu?” tanya Kyuhyun ketika aku membuka pintu apartemenku.

“Bekerja. Ayahku pulang sekali dalam seminggu, sedangkan ibu sekarang sedang ada kunjungan ke Jepang mungkin lusa baru tiba.” Jawabku sembari menggantungkan mantel kami disisi pintu.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Setelah aku mengkopi rekaman ini, kita akan menonton sebentar. Apa ibumu akan marah jika kau pulang lewat jam delapan malam? Atau aku harus mengantarmu pulang setelah ini?”

“Kau bercanda?” Kyuhyun menyeringai dengan gigi rapihnya yang putih.

“Bisa saja. Masih banyak mahasiswa yang ‘diikat’ orang tuanya.” Jelasku sambil menyiapkan beberapa cemilan untuknya.

Kyuhyun mengeluarkan beberapa perangkat dalam tas kameranya, “Seohyun, sepertinya rekaman ini sangat penting bagimu?” tanya Kyuhyun disela aktifitasnya.

“Kau ini sok tahu sekali, Kyuhyun!”

“Kalau tidak benar, kau tidak akan membiarkan aku masuk kerumahmu seperti ini. Kau hanya mengetahui namaku, bisa saja aku melukaimu. Apa ini tidak terlalu berbahaya? Kau lebih memperdulkan video itu dibandingkan—“

“Aku tahu kau bukan orang jahat. Jika memang benar, kau akan melakukannya sejak awal.” Sambungku menghampirinya dengan senampan orange jus dan beberapa kue kering dalam toples.

“Menyentuh sekali jawaban itu. Seohyun, apa pacarmu anggota tim?”

“Aku harap iya. Selama dua belas tahun aku berharap seperti itu.” Terangku sedikit bercerita. Entah kenapa orang asing ini terlihat begitu menyenangkan. Beda dari biasanya, aku akan sungkan dengan orang baru yang aku temui.

“Hei, ceritakan padaku.” Pintanya terdengar antusias, ia menaikan kedua kakinya disofa kemudian melipatnya seperti siap mendengarkan romansa dari para pujangga.

“Butuh waktu yang panjang. Aku yakin kau akan tertidur mendengarnya. Hahaha—“ jawabku berusaha mencairkan kesenjangan antara kami yang terbilang baru.

“Ayolah. Anggap saja kau menyangikan lagu tidur untukku.”

“Baiklah, karena kau yang memintanya.”

Setelah kameranya dan laptopku tersambung, aku memutar rekaman dengan durasi sekitar dua jam itu. “Kau lihat pria ini? Tampan, kan? Semua wanita mengatakan itu pada sahabatku yang satu ini.” Tanyaku ketika menekan tombol pause pada momen saat Minho muncul kelapangan.

“Oh, aku bisa menebaknya. Kau menyukai sahabatmu?”

“Sepertinya aku tidak perlu bercerita.”

“Hei, hei, kau belum menyelesaikan. Pantas video itu berharga sekali untukmu. Jangan katakan kau merekam seluruh pertandingannya?”

“Kau bisa menebak itu?”

“Ya tuhan, aku hanya bergumam. Apa itu benar? Terdengar seperti obsesi.”

“Mungkin ya tapi tidak seburuk itu. Aku hampir mengoleksi setiap pertandingannya dikamarku, tapi aku sudah berhenti sejak lemariku tidak cukup menampungnya. Hahaha—“

Kyuhyun menggelengkan kepalanya seperti tidak percaya, sekarang aku benar-benar terlihat seperti perempuan aneh dimatanya. “Minho memintaku merekam pertandingan pertamanya tingkat nasional dan itu sungguh membanggakan baginya. Ia tinggal bersama ibunya yang cukup protektif, bibi tidak suka Minho bermain dengan bola orange itu. Ia berfikir jika bibi dapat melihat kerja kerasnya yang sudah mencapai sejauh ini, ia akan diberikan lampu hijau untuk bermain.” Terangku melanjutkan. Melihat rekaman ini cukup membuatku terbawa suasana.

“Kadang aku berfikir, tidak adil sekali dilahirkan sebagai sahabatnya jika wanita lain diluar sana dapat dengan mudah mengatakan ‘Minho,aku menyukaimu’ sedangkan aku hanya dapat melihatnya dari dekat tanpa bisa menyentuh hatinya sama sekali.bahkan ketika aku mengakuinya, ia menganggap ini lelucon. Se—“

Kyuhyun tertidur. Sepertinya ceritaku sedikit membosankan.

Aku menyaksikan pria yang terkulai pada sofa itu. Benar sekali yang ia katakan, aku mengambil resiko yang besar untuk mendapatkan rekaman ini. Coba saja kalau ia adalah pria jahat yang ingin memanfaatkanku. Bisa-bisa sekarang aku tinggal potongan tulang belulang didalam bak sampah. Benar-benar nekat. Tapi inilah yang disebut pengorbanan. Kadang cinta itu membuat matamu tertutup pada dunia, membuat fikiranmu terfokus hanya pada cara untuk mendapatkan hatinya.

Untuk kesekian kalinya aku menekan tombol replay pada rekaman yang telah selesai. Entah kenapa melihat Minho berlarian dengan keringat tidak pernah membuatku bosan selama dua belas tahun ini.

“Hoam—“

“Ah, sudah bangun?” tanyaku pada Kyuhyun yang sedang merentangkan kedua tangannya.

“Maaf karena aku tertidur. Mencari cincin itu benar-benar melelahkan.”

“Tidak apa. Lagipula ceritaku juga memang cukup membosankan. Hihihi—“

“Aish, kau membuatku tidak enak hati. Maaf.” Kyuhyun menggaruk kepalanya, “Hei, jam berapa sekarang? Apa kau telah selesai dengan rekamannya?” sambung Kyuhyun menengok jam yang melingkar pada tangan kirinya.

“Kau mau pulang? Aku baru saja memesan pizza, ku pikir cacing-cacing diperutmu perlu sedikit cemilan.”

“Wah, terimakasih. Kebetulan aku memang lapar.”

Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Sambil menunggu pesanan aku dan Kyuhyun menghabiskan waktu untuk saling bertukar cerita. Kyuhyun terbilang cukup menyenangkan untuk kategori orang yang baru ku kenal. Dia pendengar yang baik dan tidak banyak komentar, cukup menghargai privasiku.

Ting— terdengar suara bel.

“Akhirnya datang juga. Bisa tolong bukakan pintu, Kyuhyun? Aku akan membuat minum.”

Kyuhyun tak menjawab langsung menjalankan perintah, segera ia beranjak dari sofa menuju pintu. Aku pun bergegas menuju dapur untuk mengambil beberapa soda yang tersisa.

“Seohyun-ah, sepertinya ia tidak membawa pizza?” tanya Kyuhyun sedikit berteriak.

“Ha—“ aku tidak terlalu mendengar kalimat Kyuhyun yang terdengar samar ditelingaku. Aku memilih untuk menghampirinya dengan sebotol besar soda untuk teman pizza kami. Namun, betapa terkejutnya aku ketika seorang yang berdiri disebrang pintu itu terlihat seperti…

“Minho?”

To be Continue

66 respons untuk ‘Enchanted (Part. 1)

  1. huaaa…. ga nyangka .. kukira ini seokyu yg udh bersahabat lama ternyata malah seomin yg bersahabat.. seo sedih amat sih suka sama sahabat sendiri tanpa ngungkapin selama 12 tahun, gila itu rekor bgt…..
    awal pertemuan seokyu manis hihi… seo dengan maunya malah bantuin nyari kalung cincin yg dicari kyu… tapi btw itu kalung cincin yg dicari kyu -yg katanya berharga- dr siapa eo? hemm
    seokyu awal aja udh berani masuk apartemen berdua kekek 😀
    nah loh gimana respon si minhi dah tuhhh??
    next baca 😀

Tinggalkan komentar